Catatan Sepakbola

Aksi Suporter 'Bakar' Stadion Teladan

Suporter-suporter PSMS bukan suporter udik yang tak memahami regulasi. Mereka sangat paham. Mereka tahu bahwa suar dan kembang api terlarang

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR
PROTES MANAJEMEN - Penonton membentangkan poster dan spanduk serta menyalakan suar (flaire) pada pertandingan antara PSMS kontra PSMS Makassar di Stadion Teladan, Medan, Senin (23/7). Penonton yang merupakan suporter PSMS mendesak dilakukannya perombakan bukan saja pada skuat, tetapi juga terhadap jajaran manajerial. 

PSMS Medan kalah lagi di kandang sendiri. Kekalahan keempat dari total 12 kekalahan. Hasil yang membuat PSMS, untuk sementara, terkunci di dasar klasemen Liga 1.

Posisi yang sudah barang tentu tidak menggembirakan. Apakah PSMS musim depan akan kembali ke Liga 2? Masih ada 16 laga menuju akhir kompetisi tahun ini. Masih tersedia 48 poin. Artinya, hitungan di atas kertas, masih terbuka kemungkinan PSMS lolos dari jerat degradasi.

Namun ini hitungan yang matematis belaka. Kita tahu, sepakbola tak serupa 1+1 = 2. Sepakbola bukan eksak. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil laga. Bukan cuma teknis, tetapi juga nonteknis. Benar masih tersedia 48 poin, tetapi berapa yang bisa diraih PSMS? Seluruhnya, setengahnya, atau seperempatnya saja? Lantas, dari poin yang bisa diraih, katakanlah separuhnya, apakah cukup untuk membawa PSMS ke posisi aman?

PEMAIN PSMS, Rahmat Hidayat, menyaksikan pemain-pemain Bali United merayakan gol pada satu momentum pertandingan Liga 1 di Stadion Teladan, Medan, Sabtu (28/7). PSMS kalah 1-2 dan menjadi kekalahan keempat di kandang dari total 12 kekalahan yang dialami hingga pekan ke 18 Liga 1.
PEMAIN PSMS, Rahmat Hidayat, menyaksikan pemain-pemain Bali United merayakan gol pada satu momentum pertandingan Liga 1 di Stadion Teladan, Medan, Sabtu (28/7). PSMS kalah 1-2 dan menjadi kekalahan keempat di kandang dari total 12 kekalahan yang dialami hingga pekan ke 18 Liga 1. (TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR)

Jawabannya, bisa cukup bisa tidak, tergantung performa kompetitor. Apabila performa kompetitor stagnan dan sebaliknya PSMS meningkat, maka peluang PSMS keluar dari zona merah akan terbuka.

Harapan kita sebagai pecinta PSMS tentu demikian. Bahkan bukan sekadar tidak degradasi. Jika bisa, kita ingin melihat PSMS merangsek ke papan tengah atau malah papan atas.

Persoalannya, bisakah PSMS meningkatkan performa? Secara teknis barangkali potensinya besar. Pelatih baru mulai melakukan perombakan skuat. Sejumlah pemain didatangkannya untuk menambal lubang-lubang pada skuat bentukan pelatih terdahulu. Para pemain ini, terutama pemain asing, memang belum turun merumput karena kendala regulasi. Namun, setidaknya dari portofolio mereka yang lumayan ciamik untuk ukuran sepakbola Indonesia, plus kesan yang ditangkap selama mengikuti sesi-sesi latihan, harapan boleh diapungkan.

Bagaimana sisi nonteknis? Di sini letak masalah. Sekali lagi, hakekat sepakbola bukan eksak. Sepakbola lebih kepada seni kemungkinan yang dipengaruhi faktor teknis dan nonteknis sekaligus. Sisi teknis PSMS, walau masih babak belur, saya kira punya prospek. Namun prospek ini bisa mandek, bahkan rusak sepenuhnya, apabila persoalan-persoalan nonteknis yang sekarang mendera tak segera tuntas.

Pemain PSMS Medan berdoa bersama sebelum sebelum memulai pertandingan Final Piala Kemerdekaan melawan Persinga Ngawi di Gelora Bung Tomo, Surabaya tahun lalu. PSMS menjadi juara pada turnamen ini dan menjadi masa kejayaan PSMS Medan yang mungkin sulit diulang.
Pemain PSMS Medan berdoa bersama sebelum sebelum memulai pertandingan Final Piala Kemerdekaan melawan Persinga Ngawi di Gelora Bung Tomo, Surabaya tahun lalu. PSMS menjadi juara pada turnamen ini dan menjadi masa kejayaan PSMS Medan yang mungkin sulit diulang. (Tribun Medan/Arifin Al Alamudi)

Persoalan nonteknis apa? Saya kedepankan yang paling kasat mata saja. Laga kontra Bali United, Sabtu, 28 Juni 2018, adalah laga keempat di mana suporter-suporter PSMS membakar suar (flaire) dan kembang api (fireworks). Pertama kali dilakukan pada pertandingan kontra Persib Bandung (6 Mei 2018), kemudian saat melawan Persipura Jayapura (12 Juli) dan PSM Makassar (23 Juli). Tiga laga terakhir, pembakaran suar dan kembang api makin masif.

Suporter-suporter PSMS saya kira bukan suporter udik yang tak memahami regulasi. Mereka sangat paham. Mereka tahu bahwa suar dan kembang api terlarang sebagaimana dicantumkan dalam regulasi Liga 1 2018, pada Bab XI pasal 51 tentang Hal-hal yang Mengganggu Pertandingan. Mereka tahu keberadaan dan pengaktifan benda-benda itu di stadion akan membuat klub mendapat sanksi seperti tertera dalam Kode Disiplin PSSI pada Pasal 70 tentang Tanggung Jawab terhadap Tingkah Laku Buruk Penonton. Apa sanksinya? Denda paling sedikit Rp 50 juta, pertandingan tanpa penonton hingga yang terparah, larangan menjadi tuan rumah.

Saya pastikan suporter-suporter yang membakar suar dan kembang api di empat laga terakhir PSMS tahu dan paham regulasi ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, tentu saja, jika mereka tahu dan paham, kenapa tetap melakukan?

PENONTON menyalakan suar (flaire) pada laga antara PSMS kontra PSM Makassar di Stadion Teladan, Medan, Senin (23/7). Atas hal ini PSMS terancam mendapatkan sanksi lanjutan dari PSSI dan operator Liga 1 setelah sebelumnya juga dijatuhi sanksi terkait kasus serupa.
PENONTON menyalakan suar (flaire) pada laga antara PSMS kontra PSM Makassar di Stadion Teladan, Medan, Senin (23/7). Atas hal ini PSMS terancam mendapatkan sanksi lanjutan dari PSSI dan operator Liga 1 setelah sebelumnya juga dijatuhi sanksi terkait kasus serupa. (TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR)

Saya tidak bermaksud membela suporter. Bagaimanapun, perbuatan salah tetaplah salah. Namun, semestinya kita juga tidak berhenti pada sekadar vonis salah dan benar. Semestinya ditelisik lebih jauh, kenapa mereka secara sadar dan terus-menerus melakukan perbuatan yang salah itu? Mengapa mereka tetap nekat "membakar" Stadion Teladan?

Saya tahu jawaban pertanyaan ini. Saya kira Presiden Klub Kodrat Shah dan Pembina Klub Edy Rahmayadi juga tahu. Mereka bisa melihat, atau kalaupun tak melihat lantaran barangkali sedang sibuk, pastilah ada mendengar kabar. Iya, suporter menginginkan perombakan dilakukan secara menyeluruh, luar dalam. Bukan cuma skuat, jajaran manajerial PSMS juga mesti dirombak.

Tak perlu disanggah, kinerja manajemen PSMS memang buruk. Tak usahlah sampai jauh-jauh membahas soal uang dan kaitannya dengan transparansi. Entah bonus-bonus entah pemasukan tiket. Saya kedepankan contoh yang juga kasat mata. Saat jadi tuan rumah kontra PSM, laga terpaksa dimundurkan beberapa menit dari jadwal lantaran lampu yang tidak menyala sempurna. Kejadian serupa, ternyata terulang di partai kandang berikutnya melawan Bali. Apakah manajemen PSMS tidak belajar dari kesalahan dan melakukan langkah-langkah antisipatif?
Suporter, di antara asap tebal dan nyala api suar di Stadion Teladan, meneriakkan sejumlah nama. Dua yang paling kencang terdengar adalah Julius Raja dan Tengku Edryansyah Rendy.

Nama terakhir merupakan manajer PSMS. Saya tidak tahu apa yang menjadi tolok ukur Rendy ditunjuk menduduki jabatan ini. Apakah kompetensi? Sepertinya tidak. Sebagai jurnalis, sejak tahun 2000 sampai sekarang, baik secara langsung maupun tidak, saya banyak berkutat dengan PSMS, dan baru kali ini mendapati manajer yang pernyataan-pernyataannya tidak banyak dikutip. Bukan semata lantaran tak layak, lebih jauh juga karena yang bersangkutan memang jarang sekali bicara pada media. Kecuali pada sesi konferensi pers jelang pertandingan, di hari lain, agak susah menemuinya.

Padahal, posisi manajer dalam klub sepakbola sangatlah krusial. Bukan cuma harus menguasai hal-hal yang bersifat teknis, manajer juga berkaitpaut erat dan menanggungjawabi segala urusan tetek-bengek nonteknis. Rendy sepertinya belum paham tugas-tugasnya. Atau jangan-jangan malah sama sekali tak paham.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved