Citizen Reporter

Aceh dalam Gurita Seks Bebas?

FENOMENA seks bebas ibarat gunung es yang hanya terlihat sedikit, namun pada faktanya mayoritas generasi muda

Editor: AbdiTumanggor
TRIBUN JATIM/Aqwamit Torik

FENOMENA seks bebas ibarat gunung es yang hanya terlihat sedikit, namun pada faktanya mayoritas generasi muda di Indonesia tak terkecuali Aceh sudah diseliputi atmosfir seks bebas pada stadium parah.

Mengenai hal ini Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa mengatakan, saat ini Indonesia sudah masuk darurat pornografi. Hal ini terbukti dari belanja pornografi sepanjang 2014 diperkirakan mencapai lima puluh triliun rupiah.

Ia juga berkata, 45% di antaranya merupakan kejahatan seksual yang melibatkan anak di bawah umur, bahkan hingga anak usia dini.

Laporan dari Deputi bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan, Julianto Witjaksono, bahwa 46% remaja usia 15-19 sudah melakukan hubungan intim.

Selanjutnya, 48-51% menunjukkan jumlah perempuan yang hamil secara illegal.

Senada dengan Julianto, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah ada 1.039 kasus yang melaporkan ke komnas. Lebih dari 50% adalah kasus pelecehan seksual.

Kemudian, kalangan SMP dan SMA telah menduduki angka seks bebas yang darurat yaitu 97% dari kalangan remaja mengaku telah menonton video porno, 93,7% mengaku sudah tak perawan dan 21,26% sudah pernah melakukan aborsi (BkkbN, tanggal 12/8/2014).

Seks bebas telah menggerogoti anak, khususnya di Aceh dan mengikis label syariah yang diagungkan oleh pemerintah Aceh.

Angka seks bebas yang mencengangkan sekaligus memilukan ini ternyata tiap tahun terus bertambah.

Tanpa disangka-sangka Lhokseumawe menduduki peringkat pertama seks bebas di kalangan remaja Aceh yang meraih 70%, disusul Banda Aceh dengan kuota 50%.

Atmosfir seks bebas telah menggerogoti keimanan anak Aceh, hal ini terlihat dari jumlah kawula muda yang telah melakukan awal dari zina yaitu pacaran yang berlanjut pada hubungan intim.

Bahkan yang sangat mengejutkan, di Aceh terdapat daerah tertentu yang aktivitas jual diri sangat galak disyiarkan. Sudah beberapa kali kepergok, namun aktivitas ini terus berlanjut dan semakin meningkat peminatnya. Sungguh ironis dan menyedihkan.

Sejauh ini, alasan para kawula muda melakukan seks bebas bukan karena ekonomi keluarga yang ambruk atau membiayai kuliah dan sekolah, melainkan karena keinginan untuk merasakan bagaimana “syurga dunia”.

Namun, fatalnya mereka tidak mengambil jalur yang disahkan agama dan hukum yaitu menikah.

Tak jarang di momen tertentu dimanfaatkan untuk seks bebas, seperti hari liburan nasional, acara ulang tahun, tahun baru, lulus sekolah, dan momen lainnya, yang mampu mencetakkan keuntungan bebas bagi penjual kondom, miras, coklat, hotel, boneka, dan sebagainya.

Generasi muda semakin rusak mental dan moral. Tentunya pemerintah Indonesia khususnya Aceh telah berupaya untuk menuntaskan “gurita seks bebas” ini.

Namun, solusi yang diberikan masih jauh menyentuh akar permasalahan bom seks bebas di kalangan para remaja.

Bukan berkurang, bahkan makin meningkat yang diiringi dengan meningkatnya penderita HIV/AIDS baik dikalangan remaja hingga orang dewasa.

Solusi lainnya adalah mengadakan razia di tempat mangkal kaum PSK dan remaja yang suka berdua-duaan di tempat tertentu.

Namun, aktivitas ini tidak maksimal dilakukan, sebab adanya semacam ancaman ke pihak razia oleh pengusaha tertentu dan terjadinya kompromi antara penguasa dan penguasa setempat. Ditambah lagi dengan kurangnya sosialisasi serta penyadaran kepada rakyat akan bahayanya seks bebas.

Pemerintah daerah Aceh menginginkan generasi dengan karakter terbaik dan cerdas, tapi di satu sisi akar permasalahan seks bebas tidak dibasmi secara tuntas..Keseriusan dalam memberantas seks bebas tampaknya masih abu-abu.

Setidaknya ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh individu, masyarakat dan negara jika ingin serius menghentikan “gurita” seks bebas ini.

Pertama, keluarga adalah madrasah pertama. Perlu adanya kesadaran bagi keluarga untuk mendidik pelajaran agama kepada anak, mengajarkan ini halal itu haram.

Tentu semua ini akan terwujud bila seorang ibu memiliki waktu yang cukup dengan anak dan keluarganya.

Sedangkan fakta saat ini banyaknya perempuan memilih bekerja di luar rumah dari pagi hingga sore hari.

Wajar saja generasi kita lemah mental dan mudah mengikut arus globalisasi baik budaya dan gaya hidup.

Kedua, diperlukan kontrol masyarakat. Prilaku seseorang juga dibentuk oleh lingkungan tempat ia tinggal.

Seseorang tak selamanya tinggal di rumah, tapi ia juga memiliki aktivitas di luar rumah. Aktivitas inilah yang tak mampu dikontrol oleh keluarga sehingga perlu peran masyarakat.

Namun fatalnya, sistem demokrasi menciptakan suasana masyarakat hedonis dan individualis. Akhirnya lose kontrol masyarakat dan berdampak pada mudahnya tersebar budaya dan pola pikir yang jauh dari kebenaran. Sebaliknya generasi yang rusak terus bertambah akibat sikap individualis ini.

Ketiga, negara harus tegas terhadap pengusaha yang memproduksi barang haram dan makhruf.

Jumlah perusahaan di Indonesia khususnya di Aceh yang memproduksi barang yang tidak baik bahkan haram masih bisa menghirup nafas yang segar dan meraup keuntungan yang besar.

Negara sebagai pelayan rakyat seharusnya pemerintah mengawasi “penyakit” yang disebarkan oleh pengusaha yang dapat merusak pikiran dan tubuh rakyat ini.

Keempat, negara beserta masyarakat memiliki kesamaan pandangan akan hukum yang diterapkan di negara/daerah mereka.

Sanksi yang tegas sudah selayaknya diberikan kepada pengusaha nakal dan kalangan individu yang melanggar aturan.(*)

Oleh: Moni Mutia Liza, Mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: [email protected]

Artikel ini sudah tayang di rubrik opini Serambinews.com dengan judul: Aceh dalam Gurita Seks Bebas?

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved