Arsenal vs Manchester United
Merah Mana yang Meledak
Wenger sudah 19 tahun jadi bos Arsenal. Tidakkah ia menyadari betapa filosofi yang dianutnya selama ini hanya membikin para suporter mengurut dada?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TIGA pekan lalu Liga Premier Inggris memanggungkan salah satu partai terbesar musim ini. Tepatnya, partai yang tiap kali dipentaskan setiap musim akan selalu menghadirkan keriuhan, di dalam dan di luar lapangan. The Classic Battle of Britain, Manchester United versus Liverpool.
Namun tidak seperti di tahun-tahun sebelumnya, kali ini "perang" berlangsung mengecewakan. Keriuhan yang serba tanggung. Manchester United menekuk Liverpool 3-1, namun kedua kubu sama-sama tidak "meledak". Perang yang terlalu "salon".
Malam nanti ada duel klasik lain. Duel merah yang lain. Dipanggungkan di London, di Stadion Emirates, markas Arsenal. Lawan duel tentu saja Manchester United, The Red Devils, yang datang dengan status sebagai pemuncak klasemen. Status yang dicapai untuk pertama kalinya sejak Si Alex Ferguson memutuskan mundur dari singgasananya, tiga tahun lalu.
Apakah ini berarti Manchester United telah kembali ke track? Apakah ini pertanda sentuhan tangan Louis van Gaal telah menemukan bentuk dan masa-masa keemasan Manchester Merah akan segera kembali?
Tunggu dulu. Liga baru berjalan tujuh pekan. Masih terlalu prematur untuk mengedepankan kesimpulan. Benar bahwa Manchester United sekarang menjadi tampuk pimpinan sementara. Namun klub-klub lain, tentu saja, masih memiliki potensi yang sangat besar untuk merebut singgasana itu. Tak terkecuali Arsenal yang berada di posisi empat.
Mencermati sejarah panjang kedua kesebelasan, mengacu pada posisi klasemen, bentrok ke 222 (di semua ajang) ini potensial berlangsung sengit. Arsenal pastinya tak ingin rekor mereka semakin buruk.
Dimulai sejak 13 Oktober 1894, Arsenal yang ketika itu masih bernama Woolwich Arsenal, lebih sering memecundangi Newton Heath (nama lama Manchester United). Total mereka menang 95 kali, imbang 46 kali, dan kalah 80 kali. Namun sejak era Premier League bergulir (1992), Arsenal lebih sering kalah. Bahkan tidak pernah menang lagi (kandang maupun tandang) dalam 12 pertandingan terakhir di ajang ini.

Terkait rekor ini, tentu pula, Arsene Wenger tidak ingin terus-menerus mendapatkan malu. Ia memang telah dicatat sebagai salah satu pelatih besar dalam sejarah persepakbolaan Inggris. Kiprahnya selama hampir dua dekade di klub sebesar Arsenal, bukanlah pencapaian yang main-main. Jika bukan pelatih istimewa pastilah tidak bisa melakukannya.
Akan tetapi, kariernya yang terentang panjang itu ternoda oleh satu fakta yang - boleh dibilang- agak memalukan:
Arsenal nyaris kehilangan daya ketika berhadapan dengan klub-klub elite Liga Inggris. Selain Manchester United, racikan Wenger juga kerap ambruk dan terpecundangi oleh Manchester City, Chelsea, dan Liverpool. Satu kondisi yang membuat Wenger diejek sebagai 'Sang Spesialis Gagal' oleh Jose Mourinho.
Wenger meradang. Namun apa boleh buat, kenyataannya memang demikian. Di satu sisi, Wenger dengan segenap kecanggihan hitung-hitungannya, berhasil membangun skuat yang kompetitif dengan modal pemain-pemain yang kebanyakan datang dari kelas nonbintang. Pemain-pemain "belum jadi" dan karenanya berharga murah. Dalam kurung tiga empat tahun, dia menyulap pemain- pemain itu menjadi bintang dan dijual kembali dengan harga mahal.
Jika bicara dari sisi pandang ekonomi, Wenger telah memberikan profit yang besar bagi Arsenal. Tapi sepakbola, yang (meskipun) di Eropa sudah menjelma industri, tidak melulu soal ekonomi. Sepakbola adalah juga prestasi. Sepakbola adalah tentang tropi juara. Dalam satu musim kompetisi, sepakbola Inggris menyediakan tiga gelar utama, Eropa dua gelar, plus satu kejuaraan dunia antar klub.
Dari keseluruhan tropi, Arsenal paling jauh hanya kebagian FA Cup (dan tropi dari pertandingan pemanasan, Community Shield). Sejak terakhir kali meraihnya di musim 2003-2004, Arsenal tidak pernah lagi menjuarai liga. Akan halnya prestasi di Eropa, jauh lebih miris. Piala terakhir adalah dari kejuaraan yang telah dihentikan sejak tahun 1999, UEFA Cup Winners' Cup. Arsenal membawa pulang tropi kejuaraan ini di musim 1993-1994. Kala itu, di laga final, mereka menekuk klub Italia yang sekarang terpuruk karena bangkrut, SSD Parma Calcio 1913.
"Failure is always dependable on what evaluation you make on your own performance," kata Louis van Gaal dalam wawancara dengan Independent.
Van Gaal bicara perihal kegagalan. Apakah ia tengah menyindir Wenger? Apakah ia tengah meniru langkah dari muridnya, Mourinho? Van Gaal tidak berterus terang. Dalam sekujur wawancara yang diberi judul Louis Van Gaal Won't Follow Arsene Wenger's Lead After 19-Year Stay with Gunners, ini dia sesungguhnya lebih banyak bicara tentang dirinya sendiri. Tentang bagaimana ia merevolusi AZ Alkmar, sebagaimana dilakukannya di Barcelona dan Bayern Munich. Sekarang, kata van Gaal, ia melakukannya di Manchester United, dan revolusi, tidak selalu berhasil.
Hanya dua baris kalimat yang menjadi benang merah bahwa kalimat-kalimat van Gaal yang "kesana-kemari" ini pada dasarnya adalah "serangan" terhadap Wenger. Yakni pertanyaan apakah ia akan bertahan sekian lama di satu klub tanpa mempersembahkan tropi-tropi utama, yang dijawab," I am not that type. I like to win a lot."
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/arsenal-emyu_20151004_161152.jpg)