Citizen Reporter

Orang Sumut di Kuta Bali

T-shirt bertuliskan 'I Love Siantar' yang kukenakan memberikan pengaruh luar biasa.

zoom-inlihat foto Orang Sumut di Kuta Bali
TRIBUN MEDAN/IST
TRIBUN-MEDAN.com - T-shirt bertuliskan 'I Love Siantar' yang kukenakan memberikan pengaruh luar biasa. T-shirt ini pemberian Vinder Est Sinaga, anak Siantar atau Par Siattar, dari rumah produksi Estomidi Bekasi.

Saat berkunjung ke rumah komponis Dakka Hutagalung, di Tangerang, setengah berteriak,  ia minta saya tanggalkan t-shirt itu untuk ditinggal di rumahnya. Akhirnya kusuruh Vinder yang baik hati mengirimnya untuk Dakka.

Minggu (23/10), t-shirt itu saya pakai lagi dan kali ini menyihir pekerja di Pantai Kuta, Bali. Anak muda marga Sijabat spontan berteriak, "Horas Par Siattar!"

Rambutnya dicat kemerahan gaya kaum hippies, tubuhnya legam terbakar matahari. Ia menyalamiku. Melalui t-shirt itu terbangun solidaritas sesama anak Siantar, yang kami sebut  Ikan Asin (Ikatan Anak Siantar).

Saya dengan beberapa teman sengaja ngobrol di Pantai Kuta Bali untuk habiskan waktu sebelum ke Bandara Ngurah Rai dan kembali ke kotanya masing-masing. Teman saya, Sunggul Pasaribu, dosen di FKIP Nomensen Siantar,  akhirnya berdialog dengan Sijabat. Sijabat mengaku anak Simpang Dua Siantar dan selepas SMA merantau ke Bali. Sijabat pun bertutur bahwa banyak orang Sumut bertarung hidup di Bali.

Setidaknya tak kurang dari 70 persen pekerja di pantai Kuta orang-orang muda asal Sumut. Mereka mengajarkan turis memakai papan selancar, menjual minuman dingin, menjual makanan kecil, dan menyewakan alas duduk. Saat saya bersama aktivis buruh ILO Rekson Silaban makan malam di Pantai Jimbaran, pengamennya yang rapi juga orang-orang Batak.

Lucunya, semuanya berkaitan dengan urusan nekad. Sijabat bilang kariernya sebagai pelatih selancar meski awalnya Par Sianttar itu belum paham berselancar. Istilahnya learning by doing. Bahasa Inggrisnya pun di-copy paste dari istilah-istilah olahraga surfing. Sekarang Sijabat setidaknya tahu sedikit banyak asing seperti Bahasa Itali, Jepang, Jerman, dan Belanda. Ketrampilan berbahasa dan kegesitan merayu tamu menjadi senjata utama berkompetisi dengan sesama pekerja dari Jawa Timur, kawasan Nusa Cendana dan pendatang lain.
Kapling di pantai disewa dari pengurus desa setempat Rp 15 juta per tahun. Lebarnya lima meter dan panjangnya dari pangkal pembatas jalan menjorok ke pantai.

Papan seluncur dari pemodal, dan mereka dapat 30 persen dari setiap pelanggan. Kepada turis domestik mereka sewakan papan selancar Rp 100 ribu per jam, dan jika beruntung mereka bisa dapat dari turis asing Rp 300 ribu-an per jam. Kerjanya tak terbatas di Kuta. Kadang mereka beruntung diminta sebagai pemandu perorangan ke pelosok Bali. Selain dapat persen dari penyewaan mobil, honor mereka bisa ratusan ribu tergantung keramahtamahan kepada turis.

Beberapa dari mereka menjalin hubungan jangka panjang dengan turis. Siregar misalnya, sudah `menikah' dengan turis wanita Jepang. Ia sekarang mengelola delapan kamar koskosan. Hidupnya lumayan tapi tetap masih mangkal di Pantai Kuta. Ia akan 'sibuk' kembali ketika sang istri datang kembali ke Bali, begitu terus secara berkala.

Menurut penuturan Gultom, pemuda Pahae yang tamat SMA di Tarutung, satu dua temannya anak-anak Sumut bahkan sudah keliling Eropa diajak sebagai teman seperjalanan oleh turis. Konon halak kita (orang Batak) yang banyak hijrah merantau ke Bali sudah berlangsung lama. Tapi ada juga yang didorong momentum melemahnya magnet pariwisata di Danau Toba 15 tahun lalu. Akhirnya beberapa pemandu wisata yang kerap berkeliling Samosir hijrah ke Pulau Dewata.

Lalu kenapa para turis wanita mau menikah dengan pemandu wisatanya?
Selengkapnya baca edisi cetak halaman 1 hari ini

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved