Berita Viral

KUHAP Baru Berlaku Mulai Januari 2026, Bahayakan Rakyat? Ini Penjelasan Wamenkum soal Penyadapan

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan masyarakat salah paham membaca ketentuan KUHAP baru.

|
Editor: AbdiTumanggor
Tribunnews
PENGESAHAN RKUHAP - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). 

DPR Sahkan RKUHAP Jadi Undang-Undang:

Ringkasan Berita:
  • Polemik soal Penyadapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
  • Klarifikasi Wamenkum soal Polemik KUHAP: Penyadapan Diatur UU Khusus, Bukan Polisi Bebas Sadap
  • Puan Maharani Sebut KUHAP Baru Berlaku Mulai 2 Januari 2026
  • PBHI Nilai KUHAP Bisa Bahaya untuk Rakyat
  • Baru Penyelidikan Sudah Bisa Ditangkap dan Ditahan

 

TRIBUN-MEDAN.COM - Pihak pemerintah meluruskan soal polemik penyadapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR RI.

Melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan masyarakat salah paham membaca ketentuan KUHAP baru. Menurut Eddy, KUHAP tidak mengatur secara rinci soal penyadapan.

“Ketentuan penyadapan diatur dalam undang-undang tersendiri, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Jadi bukan keinginan pemerintah atau DPR,” ujarnya usai menghadiri Konferensi ADHAPER di Universitas Kristen Indonesia, Rabu (19/11/2025).

Ia menjelaskan, KUHAP hanya memuat satu pasal yang menyebut penyidik, penuntut, dan hakim dapat melakukan penyadapan.

Namun detail mekanisme, termasuk izin, akan diatur dalam undang-undang khusus. 

“Media dan masyarakat salah memahami. Putusan MK jelas menyatakan penyadapan harus diatur dalam UU tersendiri,” tegasnya.

Klarifikasi DPR RI

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, juga membantah isu liar yang beredar di media sosial.

Ia menyebut ada empat hoaks terkait KUHAP baru, yakni polisi bisa menyadap tanpa batas, membekukan rekening sepihak, menyita perangkat digital seenaknya, hingga menangkap tanpa dasar hukum.

“Semua itu tidak benar. Penyadapan akan diatur dengan sangat hati-hati dan wajib izin pengadilan. Begitu juga pemblokiran rekening dan penyitaan, semuanya harus melalui izin ketua pengadilan negeri,” jelasnya.

Habib menegaskan, seluruh fraksi DPR sepakat agar penyadapan tidak dilakukan sembarangan.

“Kami ingin aturan ini tetap melindungi hak warga negara,” katanya.

Menurut Habiburokhman, empat isu yang beredar tersebut tidak benar adanya karena aturan soal penyadapan tak diatur oleh KUHAP baru, melainkan regulasi sendiri melalui undang-undang.

Selain itu, katanya, semua fraksi di DPR ingin aturan soal penyadapan tersebut diatur sangat hati-hati dan dengan izin pengadilan.

"Kami perlu klarifikasi bahwa menurut Pasal 135 ayat (2) KUHAP yang baru, hal ihwal penyadapan itu tidak diatur sama sekali dalam KUHAP, tapi akan kita atur di UU tersendiri yang membahas soal penyadapan," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa.

Kemudian, terkait isu kedua soal pemblokiran rekening, Habiburokhman membantah jika polisi bisa melakukan pemblokiran tanpa izin pengadilan.

"Kami perlu sampaikan bahwa menurut Pasal 139 ayat (2) KUHAP baru yang insyaallah ini akan disahkan semua bentuk pemblokiran tabungan, data di drive dan sebagainya, harus dilakukan dengan izin hakim ketua pengadilan," kata dia.

Terkait penyitaan yang dilakukan oleh polisi, Habiburokhman juga menegaskan bahwa penyitaan tersebut harus melalui izin ketua pengadilan negeri.

"Pasal 44 KUHAP baru yang akan kita sahkan ya, bahwa semua bentuk penyitaan itu harus dengan izin ketua pengadilan negeri. Jadi tidak benar (isu yang beredar)," ucapnya.

Habiburokhman juga menepis anggapan bahwa dalam KUHAP baru, polisi bisa melakukan penangkapan tanpa dasar tindak pidana.

Dia menjelaskan bahwa penangkapan baru bisa dilakukan setelah seseorang resmi ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan dua alat bukti.

Habiburokhman mengatakan bahwa isu itu mengarah ke hoaks soal peran polisi dalam UU KUHAP yang baru.

Dia menyampaikan, ada 4 hoaks yang tersebar soal peran polisi dalam KUHAP, di antaranya sebagai berikut:

 - Diam-diam menyadap, merekam dan mengutak-atik alat komunikasi digitalmu tanpa batasan soal penyadapan sama sekali 

- Polisi bisa membekukan sepihak tabungan dan semua rekening onlinemu

- Polisi bisa mengambil HP, laptop, dan data elektronikmu

- Polisi bisa menangkap, melarang meninggalkan tempat, menggeledah bahkan melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana

Bisa Membahayakan Rakayat

Di sisi lain, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)/Koalisi Masyarakat Sipil Pembaruan KUHAP, Julius Ibrani, menilai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan oleh Dewan perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (18/11/2025), bisa bahaya bagi masyarakat.

KUHAP anyar tersebut baru disahkan dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, pada Selasa (18/11/2025) dan langsung menuai kontroversi di kalangan masyarakat karena sejumlah pasal dinilai bermasalah sebab dianggap bakal membuka perlakuan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.

Salah satunya adalah terkait kewenangan operasi pembelian terselubung (undercover buy) dan pengiriman di bawah pengawasan (controlled delivery) yang sebelumnya hanya menjadi kewenangan penyidikan untuk tindak pidana khusus seperti narkotika.

Namun, dalam KUHAP baru, kewenangan ini justru dijadikan metode penyelidikan yang dapat menciptakan tindak pidana dan bisa diterapkan untuk semua jenis tindak pidana tanpa batasan serta tanpa pengawasan hakim.

Di mana, kewenangan tanpa pengawasan ini dianggap bisa membuka peluang terjadinya penjebakan atau entrapment oleh aparat penegak hukum dan mereka berpotensi merekayasa siapa pelakunya, meskipun pada tahap penyelidikan ini belum jelas ada atau tidaknya tindak pidana.

Dengan begini, semua orang bisa berpotensi terseret pasal karet pada tahap penyelidikan yang seharusnya belum memastikan adanya tindak pidana. Padahal, Pasal 5 KUHAP yang lama membatasi tindakan pada tahap penyelidikan dan tidak memperbolehkan penahanan.

Oleh karena itu, Julis mengatakan bahwa KUHAP baru itu bisa berbahaya bagi masyarakat karena dalam tahap penyelidikan, penyelidik sudah bisa melakukan penyadapan, pembekuan atau pemblokiran rekening, penangkapan, bahkan hingga penahanan.

Padahal, pada tahap penyelidikan ini belum diketahui pasti atau belum terbukti tindak pidana yang dilakukan.

Tahap penyelidikan sendiri merupakan tahap awal dalam proses hukum pidana untuk menentukan apakah suatu peristiwa pidana benar-benar terjadi, berfokus pada pengumpulan informasi dan bukti awal untuk menguatkan dugaan, sebelum naik ke tahap penyidikan.

"Ini dimaknai secara sederhana oleh masyarakat, jadi kita belum tahu  peristiwanya apa, yang ditundukkan kepada kita apa, tapi negara melalui penyelidiknya, bisa memblokir, bisa menangkap, bisa menahan, dan segala macamnya," ungkap Julius, dikutip dari YouTube Kompas TV, Rabu (19/11/2025).

"Konteks penyelidikan ini luas loh. Ada penyelidikan intelijen, ada penyelidikan apa, ini luas sekali. Nah, ini berpotensi bahaya bagi masyarakat apabila tidak diperdetail dan apabila tetap pada tahapan penyelidikan," sambungnya.

Apabila penyadapan hingga penahanan itu ditentukan dalam tahap penyidikan pun, kata Julius, masih ada beberapa catatan juga yang harus diperhatikan, seperti penggeledahannya hingga jangka waktu penyitaan barang bukti.

"Misalnya begini, tahap penyidikan berarti sudah tahu ini peristiwa pidana, mencari siapa tersangkanya, pelakunya siapa. Alat bukti permulaan yang cukup sudah ada di situ, sprindik (Surat Perintah Penyidikan) sudah bisa diterbitkan di situ."

"Tetapi upaya paksanya, jangka waktunya, penyitaan berapa lama, penggeledahan bagaimana, mekanismenya masih izin yang artinya sepihak oleh hakim, yang kita tahu hakim sampai detik ini masih banyak masalahnya," paparnya.

Pembelaan DPR RI
 
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Nasir Djamil, menjelaskan bahwa pengesahan KUHAP baru ini merupakan awal untuk pembaruan hukum nasional dan untuk merubah perilaku aparat penegak hukum dalam upaya-upaya paksa yang dilakukan. 

Dia pun menegaskan, ketika ada pemblokiran, penyitaan, penangkapan hingga penahanan, hal tersebut tetap melibatkan hakim atau atas izin pengadilan.

"Jadi tidak semena-mena juga mereka melakukan itu. Kecuali mungkin dalam kondisi-kondisi tertentu karena ada peristiwa-peristiwa hukum juga yang kemudian harus dilakukan tindakan-tindakan yang itu memang membutuhkan, misalnya mendapatkan ini, mendapatkan itu," jelasnya. 

"Misalnya seperti ada kasus pembunuhan, di mana saksi tidak ada dan dalam penyelidikannya seperti apa? Nah, karena itu kan dibutuhkan, misalnya membutuhkan handphone daripada orang yang diduga melakukan itu dan itu harus izin pengadilan ya. Tidak bisa kemudian diambil begitu saja," sambung Nasir.

Nasir pun menekankan, adanya KUHAP baru ini merupakan upaya dari DPR RI untuk melindungi masyarakat sipil agar tidak diberlakukan semena-mena oleh aparat.

"Jadi sekali lagi kami berusaha untuk melindungi harkat dan martabat manusia, dalam hal ini tersangka dan terdakwa dalam proses upaya-upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum," tegasnya.

Berlaku Mulai Januari 2026

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, DPR RI telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang, dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8, Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Menurut Ketua DPR RI, Puan Maharani, proses pembahasan RKUHAP menjadi undang-undang ini telah dilakukan oleh Komisi III DPR RI selama hampir dua tahun.

Komisi III DPR juga telah melibatkan banyak partisipasi dari berbagai pihak dalam merancang RKUHAP tersebut. Sebanyak 130 masukan pun telah diterima DPR dalam pembahasan ini. Sehingga proses pembahasan RKUHAP ini menjadi lama dan panjang.

"Komisi III bahwa proses ini sudah berjalan hampir 2 tahun, sudah melibatkan banyak sekali meaningful participation sudah lebih dari kurang lebih 130 masukan. Kemudian sudah apa, muter-muter di beberapa banyak wilayah Indonesia, Jogja, Sumatera, Sulawesi dan lain-lain sebagainya. Kemudian sudah banyak sekali masukan terkait dengan hal ini dari tahun 2023 dan jadi prosesnya itu sudah panjang," kata Puan dalam konferensi Persnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025), dilansir Kompas TV.

Puan menyebut, KUHAP yang baru ini akan resmi diberlakukan mulai 2 Januari 2026 mendatang. "Kemudian undang-undang ini akan mulai berlaku nanti tanggal 2 Januari 2026," imbuh Puan.

14 substansi RUU KUHAP

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan proses pembahasan RUU KUHAP telah berlangsung sejak DPR menetapkannya sebagai usul inisiatif pada 18 Februari 2025. Menurutnya, terdapat kurang lebih 14 substansi utama dalam RUU KUHAP yang akan dibawa ke rapat paripurna DPR RI seperti dikutip dari situs dpr.go.id yakni:

  • Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional.
  • Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.
  • Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.
  • Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.
  • Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.
  • Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.
  • Pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.
  • Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah.
  • Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.
  • Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan.
  • Pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.
  • Pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.
  • Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum.
  • Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

(*/Tribun-medan.com)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved