Berita Viral

CURHAT Wali Murid di Samarinda, Tertekan Sekolah Jual Kaos Kaki Rp40 Ribu: Harus Beli di Situ

Tidak hanya seragam, siswa juga diminta membeli atribut sekolah seperti dasi, topi, dan kaus kaki dengan logo sekolah.

Tribunnews
TERTEKAN - Ilustrasi untuk berita curhat wali murid SMPN di Samarinda. Para orang tua tertekan sekolah menjual seragam mencapai Rp1,4 juta.  

 

TRIBUN-MEDAN.com - Beginilah curhat wali murid SMPN di Samarinda.

Para orang tua tertekan sekolah menjual seragam mencapai Rp1,4 juta. 

Salah satunya kaos kaki yang dijual Rp40 ribu.

Baca juga: NASIB Bripda S Lecehkan Kurir Wanita Saat Antar Paket, Korban Ditarik Paksa Masuk ke Rumah

Pihak sekolah pun mewajibkan membeli seragam karena sudah diberi lambang sekolah.

Harga seragam dan perlengkapan yang dijual sekolah kembali dikeluhkan wali murid.

Kali ini, keluhan datang dari wali murid SMP Negeri di Samarinda, Kalimantan Timur.

Baca juga: PILU Guru Ulma Ely Kecewa Dimutasi Jauh dari Rumah, Minta Dikembalikan: Anak Saya ODGJ

Disebutkan bahwa harga seragam dan perlengkapan sekolah mencapai Rp 1,4 juta per siswa.

Oki, salah satu orangtua murid yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online, menyebut kewajiban membeli seluruh perlengkapan sekolah, termasuk seragam batik, pramuka, olahraga, hingga jilbab khas sekolah telah disampaikan sejak masa pendaftaran, Senin (14/7/2025) lalu.

“Kita sudah dikasih selebaran sejak awal masuk. Isinya macam-macam, dari baju batik Rp 175.000, baju olahraga Rp 200.000, sampai jilbab juga harus tiga macam,” kata Oki, Senin (28/7/2025) seperti dilansir dari Kompas.com.

Ilustrasi seragam sekolah
Ilustrasi seragam sekolah (Tribunnews)


Tidak hanya seragam, siswa juga diminta membeli atribut sekolah seperti dasi, topi, dan kaus kaki dengan logo sekolah.

Harga kaus kaki, misalnya, disebut mencapai Rp 40.000 ribu per pasang, padahal harga di pasaran bisa jauh lebih murah.

“Pokoknya semua harus ada lambang sekolah. Enggak boleh beli sendiri di luar. Kalau tidak, nanti anak dianggap tidak seragam, kasihan katanya. Itu sindiran halus dari sekolah,” ujar Erli, ibu rumah tangga yang juga orangtua siswa lain.

Baca juga: SUAMI Ungkap Percakapan Terakhir dengan Pipit Sebelum Tenggelamkan 2 Anaknya: Gak Enak Kenapa?


Meski tidak ada ancaman resmi dari sekolah, Oki dan Erli merasakan adanya tekanan sosial jika orangtua tidak segera melunasi pembayaran.

Menurut mereka, sekolah memang memperbolehkan mencicil, namun tetap ada batas waktu tidak resmi sebelum siswa harus mengenakan seluruh atribut.

“Sebenarnya kita dikasih waktu, tapi anak saya sudah ditanya-tanya kapan pakai seragam lengkap. Sekarang sudah mulai belajar, sementara seragam khasnya belum terbeli semua,” ungkap Oki.

Biaya total yang harus dikeluarkan mencapai sekitar Rp 1.415.000 per siswa, belum termasuk kebutuhan pribadi lainnya.

Baca juga: Bocoran Son Heung-min Tinggalkan Tottenham, Tertarik Bermain Bersama Lionel Messi di MLS

Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, angka ini dianggap tidak masuk akal bagi sebagian besar orangtua.

“Bayangkan, satu kartu pelajar harganya Rp 50.000. Padahal Pak Wali Kota bilang harganya maksimal Rp10 ribu dan itu seharusnya ditanggung dari dana BOS,” tambah Oki.

Oki menyayangkan kebijakan sekolah yang mewajibkan semua atribut dibeli melalui sekolah atau koperasi. Padahal, menurutnya, seragam nasional seperti putih-biru masih bisa dibeli sendiri di pasar dengan harga jauh lebih murah.

“Kalau putih biru masih bisa kita beli sendiri. Tapi yang khas sekolah enggak bisa. Harus beli di situ,” katanya.

Baik Oki maupun Erli berharap Pemerintah Kota Samarinda dan Dinas Pendidikan bisa meninjau ulang kebijakan pengadaan seragam ini agar lebih berpihak pada kondisi ekonomi warga.

“Kita bukan enggak mau beli, tapi harga-harga itu tidak wajar. Harapannya, kalau bisa, harga ditekan atau beri opsi agar bisa beli di luar, asal sesuai,” ujar Erli.

Meski demikian, orangtua mengapresiasi kebijakan sekolah yang memberikan buku dan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) secara gratis, berkat bantuan dari pemerintah kota. Namun, persoalan pembelian seragam masih menjadi beban yang belum terselesaikan.

“Kami harap ada evaluasi dari dinas. Karena banyak orangtua mengeluh hal yang sama,” tutup Oki.

Baca juga: Son Sampaikan Pesan Menyentuh Tinggalkan Tottenham, Segera Jadi Musuh Baru Lionel Messi di MLS

Kompas.com telah mencoba menghubungi Dinas Pendidikan Kota Samarinda terkait isu ini. Namun pihaknya belum bisa memberikan jawaban dan meminta wawancara esok hari.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Samarinda, Asli Nuryadin, menanggapi keluhan ini.

“Oh itu enggak boleh. Itu namanya intimidasi,” tegas Asli saat ditemui di Samarinda, Rabu (30/7/2025).

“Kalau ada anak yang belum punya seragam, pakai seragam lama saja. Sekolah enggak boleh mengusir.”

Dinas Pendidikan Kota Samarinda menegaskan bahwa sekolah tidak boleh menjual seragam dan perlengkapan siswa di atas harga yang telah ditetapkan dalam Surat Edaran Wali Kota Nomor: 400/2012/200 Tahun 2025.

Bahkan, jika ditemukan adanya kewajiban membeli seragam dengan harga tinggi, orangtua diminta untuk segera melapor.

Hal ini menyusul kabar, sejumlah orangtua siswa baru di salah satu SMP Negeri di Samarinda mengeluhkan mahalnya biaya pembelian seragam sekolah yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Nilainya mencapai lebih dari Rp 1,4 juta per siswa.

“Per tanggal 27 kemarin itu surat edaran dari Pak Wali Kota sudah kami sampaikan ke semua sekolah. Prinsipnya, ikuti yang ada di surat edaran itu,” kata Asli saat ditemui di Samarinda, Rabu (30/7/2025).

Asli menegaskan, sekolah dilarang mematok harga di luar standar yang sudah ditentukan, termasuk untuk atribut seperti batik khas daerah, ikat pinggang, hingga jilbab.

“Kalau di atas standar itu, orangtua berhak menanyakan ke sekolah. Sekolah tidak boleh menjual lebih dari harga yang ditetapkan,” tegasnya.

Asli menegaskan, sekolah tidak boleh mewajibkan siswa membeli seragam terlebih dahulu sebagai syarat mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Dinas juga membuka pintu bagi orangtua yang tidak mampu untuk melapor, lengkap dengan dokumen pendukung. Jika sekolah tidak memiliki kebijakan bantuan, maka Disdik akan turun tangan.

“Kalau dia masuk kategori miskin atau darurat, laporkan saja. Ada bantuan dari Disdik, ada juga dari program Prabobaya. Kalau benar-benar darurat, kita bahkan punya fasilitas sekolah rakyat,” imbuh Asli.

Ia juga meminta masyarakat tidak segan melaporkan sekolah yang tidak mematuhi edaran.

“Kalau ada sekolah yang memaksa, laporkan saja,” tegasnya.

 

Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com

(*/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved