Kasus Suap Hakim

Respons Menohok Mahfud MD Kasus Suap Hakim, Justru Sekarang Korupsi Peradilan Jorok Sekali

Mahfud MD menyoroti kasus suap hakim terkait vonis lepas perkara ekspor CPO dam maraknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa hakim

|
Editor: Salomo Tarigan
DOK Tribunnews.com/Gita Irawan
MAHFUD MD - Mantan Menteri Polhukam Mahfud MD menyoroti maraknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa hakim pengadilan.  

TRIBUN-MEDAN.com  - Mahfud MD menyoroti kasus suap hakim terkait vonis lepas perkara ekspor CPO dan maraknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa hakim pengadilan. 

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) menegaskan bahwa praktik korupsi di lembaga peradilan saat ini telah bertransformasi menjadi jaringan berbahaya yang secara serius merusak integritas hukum di Indonesia.

‘’Nah justru sekarang juga yang tumbuh adalah korupsi peradilan, itu jorok sekali,’’ katanya usai diskusi publik bertajuk "Enam Bulan Pemerintahan Prabowo, The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly" di Trinity Tower, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).

Lebih lanjut, Mahfud menyinggung soal kasus vonis lepas (onslag) dalam skandal korupsi crude palm oil (CPO) yang baru-baru ini mencuat.

KASUS SUAP HAKIM: Tiga hakim PN Jakarta Pusat terjerat kasus suap penanganan perkara korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO). Ketiga hakim yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Muhtarom sebagai hakim AdHoc.Uang miliaran rupiah diberikan Muhammad Arif Nuryanta Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Asal uangnya bersumber dari advokat Ariyanto Bahri.
KASUS SUAP HAKIM: Tiga hakim PN Jakarta Pusat terjerat kasus suap penanganan perkara korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO). Ketiga hakim yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Muhtarom sebagai hakim AdHoc.Uang miliaran rupiah diberikan Muhammad Arif Nuryanta Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Asal uangnya bersumber dari advokat Ariyanto Bahri. (KOMPAS.com/Haryanti Puspa Sari)

Baca juga: Nasib Megawati Zebua, Anggota DPRD yang Cekcok dengan Pramugari di Pesawat Dilaporkan ke Polisi

Modus operandi korupsi kasus ini, menurutnya, melibatkan penggunaan vonis onslag di mana terdakwa dibebaskan dengan alasan perkara perdata, atau dinyatakan tidak terbukti bersalah meskipun bukti tindak pidana korupsi sangat jelas.

‘’Ini yang kasus sekarang ini, tiga korporasi, yang kemudian menangkap Hakim Jakarta Selatan, itu kan sudah jelas korupsi, tapi dibebaskan. Dengan apa? Kalau di dalam hukum pidana ada dua cara. Satu, namanya onslag. Jadi kasus ada korupsinya, tapi dibilang bukan korupsi, kasus perdata, jadi dibebaskan tiga korporasi yang ‘makan uang triliunan’ itu. Atau dikatakan tidak terbukti kasus pidananya. Ada dua cara membebaskan itu, onslag atau dikatakan tidak terbukti,’’ ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa jaringan kerjasama kasus korupsi ini melibatkan tiga pengadilan, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara.

‘’Coba bayangkan bahayanya korupsi sekarang, jaringannya di pengadilan itu melibatkan tiga pengadilan. Hakim yang terlibat dalam suap-menyuap itu bersama paniteranya di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara. Jadi ini sudah jaringan di korupsi. Gila ini sangat berbahaya, sangat jorok sekarang,’’ ujarnya.

Mahfud menilai respons Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus-kasus korupsi selama ini cenderung normatif dan tidak efektif, sehingga menurutnya diperlukan intervensi langsung dari Presiden.

‘’Iya sekarang sudah perlu langkah darurat ya. Karena ini situasinya darurat, sehingga perlu keputusan-keputusan darurat, kalau perlu Presiden turun tangan buat Perpu. Bongkar itu semua. Jangan takut-takut, rakyat mendukung. Karena kalau nunggu Mahkamah Agung memperbaiki selalu kembali ke formalitas. Ini sudah karena kasus yang terakhir itu melibatkan tiga pengadilan. Hakim dan Paniteranya berombongan di situ nerima suap dari tiga korporasi itu. Itu yang sekarang ditemukan oleh Kejaksaan Agung, dan ini darurat’’ katanya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengungkapkan adanya dugaan suap terhadap tiga orang majelis hakim yang menangani perkara korupsi ekspor CPO atau korupsi minyak goreng.

Kasus ini sebelumnya disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan berakhir dengan putusan vonis lepas (onslag) terhadap tiga korporasi besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group pada 19 Maret 2024.

Penyidikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) kemudian menetapkan 8 orang sebagai tersangka. 

8 orang tersangka kasus suap hakim:

Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta alias MAN

Ketua Majelis Hakim: Djuyamto.

Hakim Anggota: Agam Syarif Baharudin

Hakim Anggota Hakim Ali Muhtaro

Panitera Muda Perdata di PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan

Pengacara Marcella Santoso alias MR dan

Pengacara Aryantoa alias AR. 

Head and Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei. 

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa dugaan suap ini bermula ketika Ariyanto menawarkan imbalan Rp20 miliar kepada Panitera Muda Wahyu Gunawan untuk memengaruhi putusan majelis hakim agar membebaskan ketiga korporasi terdakwa dari jerat hukum.

Wahyu Gunawan kemudian melaporkan tawaran ini kepada Muhammad Arif Nuryanta, yang kemudian justru menaikkan permintaan suap menjadi Rp60 miliar.  

Permintaan fantastis ini disetujui oleh pihak pengacara. 

Dana suap dalam bentuk dolar Amerika Serikat kemudian berpindah tangan ke Wahyu Gunawan untuk diteruskan kepada Arif Nuryanta. 

Atas jasanya, Wahyu Gunawan juga disebut menerima "fee" sebesar 50.000 dolar AS.

Setelah menerima dana, Arif Nuryanta diduga menunjuk tiga hakim, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, untuk mengadili kasus ini. 

Ia juga disinyalir menyerahkan uang tunai sebesar Rp4,5 miliar dalam bentuk dolar kepada Djuyamto dan Agam Syarif.

Penyerahan uang yang diduga berkedok biaya membaca berkas ini disertai permintaan Arif agar perkara tersebut ditangani secara khusus. 

Beberapa waktu kemudian, Arif kembali menyerahkan sekitar Rp18 miliar dalam bentuk dolar kepada Djuyamto, yang kemudian kembali membagikannya kepada kedua rekannya, dengan Agam menerima Rp4,5 miliar dan Ali Muhtarom berkisar Rp5 miliar.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa seluruh anggota majelis hakim diduga kuat mengetahui tujuan pemberian uang tersebut, yaitu untuk memastikan putusan onslag bagi para terdakwa korporasi CPO. 

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Sumber: tribunsolo/tribunnews.com

Baca juga: LIGA CHAMPIONS - Arsenal Siap Perang Lawan Real Madrid, Arteta: Mari Bicara di Atas Lapangan

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved