Pilkada 2024

Pakar Hukum Januari Sihotang Sebut DPR Pembangkang Konstitusi Jika Tak Patuhi Putusan MK

Pakar hukum tata negara dari Universitas Nommensen Medan Januari Sihotang menilai DPR menjadi pembangkang hukum bila tak menjalankan keputusan MK.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR terkait pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Badan Legislasi menggelar rapat kerja dengan Pemerintah dan DPD membahas RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menjadi UU atau RUU Pilkada. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUN-MEDAN. com, MEDAN - Pakar hukum tata negara dari Universitas Nommensen Medan Januari Sihotang menilai DPR menjadi pembangkang hukum bila tak menjalankan keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) soal persyaratan pencalonan kepala daerah

"Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD RI Tahun 1945, putusan MK itu adalah final  Artinya, tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan untuk mengubah putusan tersebut. Termasuk pembentuk UU yakni PR dan Presiden) Dengan demikian, jika DPR berencana membuat UU yang tidak sesuai dengan Putusan MK, maka itu adalah merupakan pembangkangan konstitusi," kata Januari kepada tribun, Rabu (21/8/2024). 

Januari mengatakan, presiden dan DPR memang memiliki kewenangan dalam pembentukan hukum. 

Namun sebut Januari, bukan berarti DPR dapat menafsirkan pasal pasal secara sesuka hati yang sudah tertuang dalam keputusan MK. 

"Pembentuk UU DPR dan presiden tidak boleh menafsirkan sendiri konstitusi karena yang berwenang untuk itu adalah Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution," kata Januari. 

Januari lantas mencotohkan keputusan MK nomor 90 tentang syarat usai calon presiden yang membuat Gibran boleh maju pada Pemilu 2024 lalu. 

Meski menemukan banyak penolakan atas perubahan batas usia calon presiden, hal itu tetap diberlakukan demi kepastian hukum yang sudah diatur dalam UU 1945.

Menurutnya, hal yang sama seharusnya berlaku pada keputusan MK saat ini. 

"Sama dengan Putusan Nomor 90 tentang syarat usia Capres dan Cawapres, apapun ceritanya, sebanyak apapun penolakan untuk itu, maka putusan tersebut tetap final dan wajib diberlakukan. Hal tersebut adalah sesuai dengan bunyi UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi di negara kita," kata Januari. 

"Apalagi kemudian, dalam Putusan tentang Ambang Batas dukungan pilkada tersebut, MK menyatakan dan menyebutkan dengan jelas angka-angka yang menjadi batasan. Sehingga tidak perlu lagi ditafsirkan berbeda oleh pembentuk UU dalam hal ini DPR dan presiden," kata Januari. 

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan soal syarat pencalonan kepala daerah di UU Pilkada. Putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah.

Pada aturan sebelumnya, partai atau gabungan partai harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah nasional. Saat ini, ambang batas menyesuaikan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) masing-masing daerah. Ambang batas berkisar di rentang 6,5 persen hingga 10 persen.

(cr17/tribun-medan.com) 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved