Breaking News

Viral Medsos

TERUNGKAP Penyebab RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Transaksi Uang Kartal Belum Disahkan DPR RI

Presiden Jokowi kecewa ketika Rancangan Undang Undang Perampasan Aset Koruptor tidak kunjung disahkan DPR RI.

Editor: AbdiTumanggor
kolase/istimewa
BIKIN PRESIDEN JOKOWI KECEWA, RUU Perampasan Aset Koruptor dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal Tak Kunjung Disahkan DPR RI, Politikus PDIP Sekaligus Ketua Komisi III DPR RI: Mana Berani Tanpa Perintah Ibu. (kolase/istimewa) 

TRIBUN-MEDAN.COM - Terungkap penyebab Rancangan Undang Undang (RUU) Perampasan Aset Koruptor serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal belum juga dibahas DPR RI. Hal itu pun mengundang rasa kekecewaan Presiden Jokowi.

Sebagaimana diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana yang diusulkan pemerintah hingga kini masih terkatung-katung.

Pasalnya, sejak pemerintah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset pada 4 Mei 2023 lalu, pimpinan DPR hingga kini tak kunjung membacakannya dalam rapat paripurna.

Setidaknya, sudah enam kali rapat paripurna digelar sejak surpres diterima DPR, tetapi nasib RUU Perampasan Aset tetap digantung.

Ini terjadi lantaran proses politik di meja antar-fraksi hingga ini belum juga tuntas.

Padahal, DPR sebelumnya telah memperlihatkan sikap tegasnya dengan mendesak pemerintah agar segera mengirim surpres RUU Perampasan Aset.

Akan tetapi, setelah pemerintah mengirim surat presden (surpres), sikap tegas DPR perlahan memudar hingga membuat nasib RUU Perampasan belum ada kepastian.

Bermula dari Curhatan Mahfud, RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Disahkan DPR RI

Isu RUU Perampasan Aset untuk para koruptor ini sekan tenggelam di tengah politik pemilu 2024. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sempat curhat bahwa RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai belum disetujui DPR RI.

Padahal, kata dia, RUU Perampasan Aset sangat diperlukan guna mencegah tindak pidana korupsi. Dalam RUU ini pula, pemerintah dapat merampas aset koruptor sebelum putusan final pengadilan dilakukan.

Dengan begitu, apabila RUU Perampasan Aset disahkan, negara dapat menyelamatkan aset-asetnya yang dikorupsi. "Kalau boleh perampasan aset kan bisa diselamatkan. UU ini sudah disampaikan ke DPR, belum disetujui," kata Mahfud di panti asuhan Bina Siwi Pajangan, Bantul, Jumat (3/2/2023) lalu.

Presiden Jokowi Sudah Berkali-kali Minta Segera Disahkan RUU Perampasan Aset

Beberapa hari berikutnya, giliran Presiden Joko Widodo yang membicarakan RUU Perampasan Aset.

Presiden Jokowi bukan kali ini saja meminta agar RUU Perampasan Aset ini segera disahkan.

Selain itu, Presiden juga meminta RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dibahas di DPR.

"Saya mendorong agar RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dapat segera diundangkan dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dimulai pembahasannya," ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Selasa (7/2/2023) lalu.

Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. Ia memastikan langkah ini tidak pernah surut.

Sejalan dengan hal itu, Jokowi juga mengatakan, pemerintah terus berupaya melakukan pencegahan korupsi dengan membangun sistem pemerintahan dan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel.

Di hari berikutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak gemas saat memberikan tanggapannya ketika ditanya mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset yang tak kunjung disahkan DPR RI.

Tanggapan itu disampaikannya ketika menjawab pertanyaan wartawan soal RUU Perampasan Aset yang tak kunjung dibahas DPR.

"RUU perampasan aset? Saya itu sudah mendorong tidak sekali dua kali, sekarang itu posisinya ada di DPR," ujar Jokowi usai meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial untuk 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Aceh, pada 27 Juni 2023 lalu.

Jokowi kemudian mengatakan, apakah dia harus mengulang untuk memberikan penekanan agar RUU itu segera dibahas di DPR.

Menurutnya, hal itu tidak akan dia lakukan. Sebab, posisi dari RUU itu sudah berada di parlemen. Oleh karenanya, Jokowi meminta untuk memberikan dorongan kepada DPR.

"Masa saya ulang terus, saya ulang terus, saya ulang terus, ya engga lah. Sudah di DPR. Sekarang dorong saja yang di sana (DPR)," katanya.

Sebelumnya, Presiden juga meminta RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dibahas di DPR. "Saya mendorong agar RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dapat segera diundangkan dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal segera dimulai pembahasannya," ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, pada 7 Februari 2023.

Padahal Kursi Partai Pendukung Jokowi, PDIP Terbanyak di DPR RI

Kenapa kebijakan Presiden Jokowi terkait pemberantasan korupsi ini seakan tidak didukung DPR RI?

Padahal sebagaimana diketahui, perolehan suara 9 partai politik diurutkan berdasarkan perolehan kursi terbanyak di DPR RI:

1. PDI-P: 128 kursi Jumlah suara: 27.503.961 (19,33 persen)

2. Golkar: 85 kursi Jumlah suara: 17.229.789 (12,31 persen)

3. Gerindra: 78 kursi Jumlah suara: 17.596.839 (12,57 persen)

4. Nasdem: 59 kursi Jumlah suara: 12.661.792 (9,05 persen)

5. PKB: 58 kursi Jumlah suara: 13.570.970 (9,69 persen)

6. Demokrat: 54 kursi Jumlah suara: 10.876.057 (7,77 persen)

7. PKS: 50 kursi Jumlah suara: 11.493.663 (8,21 persen)

8. PAN: 44 kursi Jumlah suara: 9.572.623 (6,84 persen)

9. PPP: 19 kursi Jumlah suara: 6.323.147 (4,52 persen)

Diminta Golkan UU Perampasan Aset, Politiisi PDIP Bambang Pacul: Mana Berani, Telepon Ibu Dulu

Di sisi lain, Politis PDIP yang sekaligus Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul terang-terangan mengaku tak berani mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal jika tak diperintah oleh "ibu".

Ini Bambang Pacul sampaikan menjawab Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam rapat dengar pendapat yang meminta agar Komisi III DPR menggolkan dua RUU tersebut.

"Di sini boleh ngomong galak, Pak, tapi Bambang Pacul ditelepon ibu, 'Pacul, berhenti!', 'Siap! Laksanakan!'," kata Bambang dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023) lalu.

"Jadi permintaan Saudara langsung saya jawab. Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan. Mana berani, Pak," lanjutnya diikuti tawa anggota Komisi III lainnya yang juga hadir dalam rapat.

Politisi PDI Perjuangan itu tak menjelaskan sosok "ibu" yang dimaksud. Hanya saja, dia bilang, untuk mengesahkan RUU tersebut, harus ada persetujuan dari para ketua umum partai politik.

"Loh, saya terang-terangan ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini nggak bisa, Pak," ujarnya.

Memang, kata Bambang, pengesahan RUU Perampasan Aset masih dimungkinkan. Namun, tidak dengan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu itu mengatakan, sulit bagi legislator mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal karena ada kekhawatiran tak terpilih lagi pada pemilu selanjutnya.

"Kalau RUU Pembatasan Uang Kartal pasti DPR nangis semua. Kenapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet, e-wallet-nya cuma 20 juta lagi. Nggak bisa, Pak, nanti mereka nggak jadi (anggota DPR) lagi," katanya, lagi-lagi diikuti tawa para anggota DPR.

Bambang menegaskan, sikapnya ini sama dengan anggota DPR lain. Seluruh legislator, kata dia, tunduk ke "bos" masing-masing. "Lobinya jangan di sini, Pak. Ini semua nurut bosnya masing-masing," tuturnya.

Pernyataan Bambang Pacul ini pernah disampaikan pula pada tahun tahun 2022 lalu. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan PPATK pada Juni 2022, Bambang juga menyampaikan keengganan DPR RI untuk mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Bambang bahkan secara terang-terangan menyebutkan praktik politik uang sebagai sumber kekhawatiran anggota legislatif termasuk dirinya. Menurutnya, transaksi tunai masih sangat diperlukan dalam kontestasi pemilu, termasuk untuk menggaet para pemilih.

Sebelumnya, dalam rapat yang sama, Menko Polhukam Mahfud MD meminta supaya DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu mengatakan, dua rancangan undang-undang tersebut krusial untuk mencegah praktik korupsi. "Tolong melalui Pak Bambang Pacul (Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto), tolong Pak, Undang-Undang Perampasan Aset tolong didukung, Pak, biar kami bisa ambil begini-begini ini Pak. Tolong juga (UU) pembatasan belanja uang kartal didukung, Pak," kata Mahfud.

Mahfud menuturkan, pemerintah sudah mengajukan RUU Perampasan Aset untuk diproses DPR sejak tahun 2020, namun tiba-tiba dikeluarkan dari daftar program legislasi nasional (prolegnas) ketika hendak dimasukkan dalam daftar prioritas. "Padahal isinya sudah disetujui oleh DPR yang dulu, pemerintah lalu memperbaiki yang dulu lalu disepakati," ujarnya.

Pemerintah memang sudah sejak lama menyuarakan pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Surpres Dikirim pada 4 Mei 2023

Pemerintah telah mengirim surpres RUU Perampasan Aset. Kemudian, dalam waktu yang bersamaan, Jokowi juga menugaskan Mahfud, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membahas RUU Perampasan Aset bersama DPR.

"Per tanggal 4 Mei 2023, presiden sudah mengeluarkan dua surat. Satu surat presiden kepada DPR yang dilampiri dengan Rancangan UU Perampasan Aset," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (5/5/2023) lalu. "Kemudian ada surat tugas, siapa (pejabat) pemerintah yang ditugaskan untuk membahas ini bersama DPR," sambung Mahfud.

Mahfud MD ketika itu berharap RUU Perampasan Aset segera dibahas oleh DPR. Namun, hingga kini tak kunjung dibahas. "Agar kita bisa segera membuat (jera) para pelaku tindak pidana dan terutama koruptor," kata Mahfud ketika itu.

Sedikitnya Sudah 6 Kali Terlewati sejak Surpres Diterima DPR RI

Setidaknya sudah enam kali rapat paripurna diselenggarakan DPR RI. Akan tetapi, tak satu pun rapat paripurna yang membacakan RUU Perampasan Aset.

Adapun di antara enam rapat paripurna DPR ini meliputi, rapat paripurna yang dilaksanakan pada 16 Mei 2023 dan rapat paripurna pada 19 Mei 2023.

Rapat tersebut merupakan ajang penyampaian pemerintah terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) tahun anggaran 2024.

Selanjutnya, rapat paripurna terkait penyampaian pandangan fraksi atas KEM dan PPKF spada 23 Mei dan rapat paripurna tanggapan pemerintah terhadap pandangan fraksi terkait KEM dan PPKF pada 30 Mei 2023.

Kemudian, rapat paripurna laporan Komisi XI DPR terhadap hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota BPK RI periode 2023-2028 yang digelar pada 13 Juni.

Selanjuntya , rapat paripurna penyampaian Ikhtiar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 2022 serta Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan Semester II 2022 dan Penyampaian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2022 oleh BPK RI pada 20 Juni 2023.

Faktor Politik

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus mengungkapkan, terhambatnya pembacaan surpres RUU Perampasan Aset dalam rapat paripurna disebabkan proses politik yang belum tuntas di antara fraksi-fraksi parpol parlemen. "Itu kan ada proses secara politik di antarfraksi, itu kan masih berjalan gitu loh. Sehingga mereka setelah bulat, baru sampai ke kami-kami pimpinan itu," ucap dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa lalu.

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani menyadari bahwa kehadiran RUU Perampasan Aset genting. Kendati demikian, ia beralasan pihaknya mengaku perlu mencermati masukan masyarakat sebelum akhirnya RUU Perampasan Aset dibacakan di rapat paripurna.

"Namun, juga masukan dan tanggapan dari masyarakat, kemudian hal-hal lain yang harus kami cermati juga itu menjadi sangat penting," ujar Puan.

Ia meminta semua pihak untuk bersabar. Puan berdalih tak ingin proses pembahasan dilakukan secara tergesa-gesa. "Jadi jangan melakukan satu pembahasan itu dengan terburu-buru, kemudian enggak sabar, kemudian hasilnya enggak maksimal," tuturnya.

Partai Politik di DPR RI Tak Komitmen Pemberantasan Korupsi

Ahli hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Ganarsih, menilai Partai Politik di DPR RI tak komitmen dalam mengawal RUU Perampasan Aset.

Sebab, DPR sebelumnya mendesak pemerintah untuk mengirim surpres. Namun, setelah pemerintah melayangkan supres, DPR justru terkesan tidak komitmen.

"Artinya kan memang tidak komitmen, masyarakat bisa menilai sendiri," kata Yenti dikutip dari Kompas.com.

Yenti tak menampik bahwa produk UU tak bisa dilepaskan dari faktor politik. Akan tetapi, sikap DPR terkait RUU Perampasan Aset memperlihatkan tidak adanya komitmen politik terhadap pemberantasan korupsi di Tanah Air.

"Komitmen politik terhadap pemberantasan korupsi tidak ada, ini sudah sangat terlambat," tegas dia.

Presiden Jokowi: Indonesia Negara Terbanyak Pejabatnya Terjerat karena Korupsi

Terbaru, Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang paling banyak memenjarakan pejabat karena kasus korupsi.

Total ada 1.385 orang yang terdiri dari, pejabat negara hingga pihak swasta yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2022.

"Kita tahu di negara kita periode 2024 (2004)- 2022 sudah banyak sekali dan terlalu banyak pejabat-pejabat kita yang sudah tangkap dan dipenjara," kata Jokowi saat menyampaikan sambutan dalam acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) Tahun 2023 di Istora Senayan Jakarta, Selasa (12/12/2023) lalu.

"Tidak ada negara lain yang menangkap dan memenjarakan sebanyak di negara kita di Indonesia," sambungnya.

Dia mengungkapkan ada 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD yang dipenjara karena tindak pidana korupsi dalam kurun 2004-2022.

Kemudian, ada 38 menteri dan kepala lembaga yang menjadi tersangka KPK. "Catatan saya, 2004-2022 yang dipenjarakan karena tindak pidana korupsi ada 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD. Itu termasuk Ketua DPR dan juga Ketua DPRD. Ada 38 menteri dan kepala lembaga," ujarnya.

Presiden Jokowi juga mencatat sebanyak 24 gubernur dan 162 bupati/walikota tersangkut kasus korupsi.

Bukan hanya itu, kata dia, puluhan hakim hingga ratusan birokrat yang juga divonis hukuman penjara karena kasus korupsi. "Ada 24 gubernur, dan 162 bupati dan walikota. Ada 31 hakim, termasuk hakim konstitusi. Ada 8 komisioner, di antara KPU, KPPU, dan KY (Komisi Yudisial). Juga ada 415 dari swasta, dan 363 dari birokrat,"beber Jokowi.

Jokowi menilai jumlah pejabat maupun pihak swasta yang dipenjara karena kasus korupsi sangat banyak sekali. Jokowi menuturkan tidak ada negara yang memenjarakan pejabatnya sebanyak Indonesia. "Terlalu banyak. Banyak sekali, sekali lagi carikan negara lain yang memenjarakan sebanyak di Indonesia," tutur Jokowi.

Mereka Tak Layak jadi DPR RI

Di sisi lain, Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul Cs tidak layak menjadi seorang anggota legislatif karena terang-terangan menyatakan tidak bisa mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

Adapun pernyataan itu Bambang sampaikan dalam rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud Md di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Saat itu, Bambang mengaku tak berani mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal jika tak diperintah oleh "ibu".

"Seorang ketua komisi kemudian memperlihatkan betapa dia sebetulnya tidak layak untuk mengisi posisi anggota legislatif, apalagi yang mewakili di komisi III komisi hukum dalam sebuah RDP dengan PPATK dengan Menko Polhukam," kata peneliti ICW, Lalola Easter dikutip dari tantangan YouTube ICW, Senin (3/4/2023) lalu.

Lalola menyampaikan, pertanyaan serupa sempat Bambang sampaikan terkait RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dalam rapat yang sama. Kala itu, Bambang menyebut DPR sulit mengesahkan RUU tersebut karena ada kekhawatiran para legislator tak terpilih lagi jika RUU itu resmi jadi undang-undang.

Hal ini, kata Lalola, menandakan bahwa praktik politik uang memang sudah menjadi suatu hal yang biasa di dalam partai politik. "Ini konteksnya mendekati pemilu dan dia dengan sangat terbuka itu menyampaikan bahwa praktik politik uang itu adalah sesuatu yang biasa. Dan kalau sampai ada RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal itu justru akan membatasi praktik busuk tersebut," ucap Lalola.

Pernyataan Bambang secara terang-terangan yang tidak berani mengesahkan dua RUU atas perintah "atasan" disampaikan menjawab permohonan Menko Polhukam Mahfud Md agar DPR segera mengesahkan RUU tersebut menjadi UU.

"Di sini boleh ngomong galak, Pak, tapi Bambang Pacul ditelepon ibu, 'Pacul, berhenti!', 'Siap! Laksanakan!'," kata Bambang dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). "Jadi permintaan Saudara langsung saya jawab. Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan. Mana berani, Pak," ujar dia dalam rapat.

Politisi PDI Perjuangan itu tak menjelaskan sosok "ibu" yang dimaksud. Hanya saja, dia bilang, untuk mengesahkan RUU tersebut, harus ada persetujuan dari para ketua umum partai politik. "Loh, saya terang-terangan ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini nggak bisa, Pak," ujar dia.

Memang, kata Bambang, pengesahan RUU Perampasan Aset masih dimungkinkan. Namun, tidak dengan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Ketua DPP PDI-P Bidang Pemenangan Pemilu itu mengatakan, sulit bagi legislator mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal karena ada kekhawatiran tak terpilih lagi pada pemilu selanjutnya.

"Kalau RUU Pembatasan Uang Kartal pasti DPR nangis semua. Kenapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet, e-wallet-nya cuma 20 juta lagi. Nggak bisa, Pak, nanti mereka nggak jadi (anggota DPR) lagi," kata dia, lagi-lagi diikuti tawa para anggota DPR.

Catatan ICW

Dalam pemberitaan sebelumnya, ICW menilai dari sudut pandang anti-korupsi, RUU Pembatasan Transaksi Tunai justru semakin penting untuk dibahas dan disahkan karena legislasi ini diharapkan dapat mencegah berulangnya praktik kotor politik uang, yang dapat berujung pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Sebenarnya, menurut ICW, Indonesia sudah menerapkan pembatasan transaksi uang kartal atau uang tunai dengan semangat pencegahan pencucian uang. Prinsip know your customer yang berlaku bagi penyelenggara jasa keuangan adalah salah satu wujud penerapan Pasal 18 ayat (3) huruf b UU 8/2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010).

Pasal tersebut menyebutkan bahwa penyelenggara jasa keuangan perlu mendalami transaksi dari pelanggan dengan nilai Rp100.000.000, atau mata uang yang setara dengan nilai tersebut.

Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain Ke dalam atau Ke luar Daerah Pabean Indonesia (PP 99/2016) juga mengatur hal serupa.

Pasal 2 ayat (1) PP 99/2016 menyebutkan bahwa, setiap orang yang membawa uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain paling sedikit Rp100.000.000 atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean, wajib memberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.

Sebagai perbandingan, berdasarkan data ICW, sejumlah negara dengan kondisi geopolitik yang relatif serupa dengan Indonesia, telah menerapkan pembatasan transaksi uang tunai.

Malaysia misalnya, membatasi transaksi uang tunai dengan batas maksimal RM50.000, Filipina menerapkan batasan transaksi tunai dengan nilai maksimal Php4.000.000. Sedangkan India menerapkan batasan sebesar 200.000 Rupee India untuk transaksi tunai. "Penerapan pembatasan transaksi tunai adalah wujud dari komitmen negara-negara tersebut dalam memberantas korupsi, pencucian uang, dan pendanaan terorisme," tulis ICW dalam tajuknya.

Meskipun praktik pembatasan transaksi uang kartal sudah berjalan di Indonesia, ICW memandang RUU Pembatasan Transaksi Tunai dapat memperkuat regulasi yang sudah ada dengan membatasi transaksi uang kartal secara lebih menyeluruh, agar modus kejahatan finansial yang umumnya dilakukan dengan transaksi tunai untuk mengaburkan dan menghilangkan jejak, dapat diminimalisasi. Sebagai catatan, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019. RUU ini diketahui hampir rampung pada 2018.

Bahkan saat itu, draf tersebut sudah diterima Sekretaris Negara untuk diteruskan ke Presiden Joko Widodo. Namun, draf harus diubah karena ada tambahan instansi yang terlibat, yakni Bank Indonesia (BI). Saat itu, BI dikabarkan tidak setuju dengan pembatasan transaksi tunai maksimal Rp 100 juta. Sementara itu, PPATK merasa nilai tersebut terlalu tinggi. Hingga waktu bergulir, RUU tersebut sudah mati suri tanpa ada kejelasan hingga saat ini.

(*/tribun-medan.com/kompas.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter 

Artikel ini diolah dari Kompas.com dengan judul "Diminta Mahfud Golkan UU Perampasan Aset, Bambang Pacul: Mana Berani, Telepon Ibu Dulu" Dan dengan judul "Nasib RUU Perampasan Aset: 6 Kali Rapat Paripurna DPR, Surpres Tak Kunjung Diproses" Dan berjudul "Bambang Pacul Tak Berani Golkan RUU Perampasan Aset, ICW: Tak Layak Jadi Anggota DPR"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved