Breaking News

Hutan Mangrove Jadi Kebun Sawit, Pemukiman Sering Banjir Rob

Lebih miris lagi, nelayan di sana, kini sulit mendapatkan biota laut untuk memenuhi nafkah keluarga mereka.

Penulis: Muhammad Anil Rasyid | Editor: Eti Wahyuni
HO
Hutan mangrove (bakau) beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan tambak di Dusun III, Desa Kwala Gebang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Sabtu (15/7/2023). 

TRIBUN-MEDAN.com, STABAT - Warga Dusun III, Desa Kwala Gebang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara kian resah. Pasalnya kawasan hutan mangrove (bakau) di desa tersebut beralih fungsi.

Amatan wartawan, tambak-tambak dan perkebunan sawit, kini terhampar luas menggantikan kelestarian tanaman Rhizophora di pesisir pantai Langkat itu.

Hal itu berdampak terhadap kesimbangan ekosistem di kawasan tersebut. Meluapnya air pasang laut (banjir rob) di pemukiman warga pun kerap terjadi. Abrasi tanah juga tak lagi dapat dihindari.

Lebih miris lagi, nelayan di sana, kini sulit mendapatkan biota laut untuk memenuhi nafkah keluarga mereka.

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kwala Gebang, Buyung meyebutkan, ratusan hektare hutan mangrove awalnya beralih fungsi menjadi tambak. Setelah itu, dikelola para mafia untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Baca juga: PTPN IV Beri Penjelasan Terkait Pemberitaan Kebun Teh Dikonversi Jadi Kebun Sawit

"Sekarang pemukiman sering mengalami banjir rob dan abrasi tanah. Sering menderita lah kita sebagai masyarakat di Kwala Gebang ini. Karena, kawasan hutan di sini sudah dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab," ucap Buyung, Sabtu (15/7/2023).

Lanjut Buyung, ia mendesak pihak terkait agar menindak tegas siapa pun oknum yang merusak kawasan hutan mangrove. Jika tidak segera ditindak, dikhawatirkan keseimbangan ekosistem akan hancur.

Meski pun sudah dilaporkan ke pihak terkait, kata Buyung, namun belum juga ada tindakan. Perambahan dan perusakan hutan masih saja terjadi dan laporan masyarakat terkesan diam di tempat.

Pada kesempatan sama, tokoh adat dan masyarakat lainnya juga menyampaikan keberatannya. Warga mengumpulkan tanda tangan, untuk menyatakan sikap menolak perambahan hutan di desa mereka.

"Kami menolak dan menentang aktivitas perambahan yang merusak hutan mangrove. Seperti yang kita lihat sekarang, hutan kami berubah menjadi kebun sawit. Air laut pun melimpah ke desa kami," ujar Tokoh Adat Kwala Gebang, Abdullah Atan.

Saat ini, sambung Atan, penghasilan nelayan di sana turun drastis. Nelayan-nelayan tradisional sulit untuk mencari tangkapan sebagai sumber mata pencarian mereka.

"Masyarakat di sini menolak keras perambahan dan perusakan hutan. Kami mendesak aparat penegak hukum (APH) dan pihak terkait untuk segera bertindak. Agar hutan mangrove dapat dilestarikan kembali seperti sediakala," ujar Atan.

Hingga saat ini, alat berat jenis excavator masih melakukan perambahan pada kordinat 4.043722 LU, 98.416229 BT. Pada kordinat tersebut, diketahui merupakan kawasan hutan sesuai dengan SK Menhut Nomor 579/Menhut-II/2014.

Bahkan, kayu-kayu bakau dari aktivitas perambahan, kerap dijadikan bahan baku bagi mafia pembuat arang. Meski berulang kali tertangkap tangan, mafia arang tak pernah mengurungkan perbuatannya. 

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Sumatra Utara, Yuliani Siregar telah memerintahkan KPH 1 Wilayah Stabat, Esra Sardina Sinaga untuk menindaklanjutinya.

"Akan ditindaklanjuti, sudah saya perintahkan KPH-nya. Kita lihat dulu kinerja ibu KPH yang baru," ujar Yuliani.

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved