UU Cipta Kerja

Serap Aspirasi Masyarakat, Satgas Undang-Undang Cipta Kerja Laksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi

Satgas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), terus melakukan sosialisasi, menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

|
Istimewa
Satgas Undang-Undang Cipta Kerja Laksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi 

TRIBUN-MEDAN.com, JAKARTA - Satgas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), terus melakukan sosialisasi, menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini terus dijalankan, pasca keputusan MK yang ditetapkan pada November 2021 lalu.

Deputi III Kepala Staf Kepresidenan yang juga Ketua Pokja Monitoring dan Evaluasi (Monev) Satgas Percepatan Sosialisasi UUCK, Eddy Priyono mengatakan, keputusan inkonstitusional bersyarat untuk UU Cipta Kerja dari MK, berawal karena dianggap tidak memberikan ruang yang maksimal bagi partisipasi publik.

Namun, kini satgas terus mendorong pemerintah untuk menjalankan hal tersebut melalui kegiatan serap aspirasi.

Diantaranya dengan buruh, pelaku usaha, akademisi, dan pakar di daerah-daerah.

"Ya mekanisme menyerap aspirasi ada dua cara. Pertama, secara formal kita lakukan FGD (Focus Group Discussion) dengan berbagai pihak,"

"dengan pelaku usaha, dengan Pemda, iya karena kan UU Cipta Kerja ini juga banyak aspek yang kemudian membutuhkan ranah dari pemerintah daerah (pemda),” kata Eddy, Rabu (10/5/2023).

Edy mengakui bahwa keterbatasan ruang masih menjadi kendala tim Satgas Percepatan Sosialisasi UUCK dalam upaya menjaring pendapat dan aspirasi masyarakat.

Oleh karena itu, diungkapkan pihaknya tidak bisa melibatkan dan mengakomodir aspirasi dari seluruh elemen masyarakat dalam FGD.

Walau begitu, sistem perwakilan membantu Satgas Percepatan Sosialisasi UUCK dalam mendengar aspirasi.

“Makanya ada sistem perwakilan kan, dan satu hal lagi saya sampaikan, kita mendengar aspirasi kan tidak berarti harus mengikuti,” ungkap dia.

Saat ini  kata Eddy, pihaknya telah banyak membuat perubahan menyangkut UU Cipta Kerja, seperti soal upah minimum misalnya.

Dari yang awalnya tidak mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan sejumlah indikator makroekonomi, dalam UU Cipta Kerja yang baru upah minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

“Kemudian tentang outsourcing, pekerja alih daya. Ini kalau kita bandingkan dengan UU Cipta Kerja yang lama, jelas sekali bedanya. Yang lama lebih bebas. Kalau yang baru, outsourcing itu dibatasi. Hanya beberapa pekerjaan saja,” imbuhnya.

Begitu pula soal sertifikasi halal untuk setiap produk.

Kata Edy, ini merupakan salah satu kebijakan hasil dari menyerap aspirasi masyarakat.

“Itu menunjukkan bahwa kita menyerap aspirasi. Ketentuan tentang produk halal, jaminan sertifikat halal, sekarang beda. Karena kita mendengar aspirasi,” paparnya.

(*)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    Komentar

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved