Piala Dunia di Kedai Tok Awang
Hakimi Tahu Mbappe Seperti Bugatti
Maroko telah mencatat sejarah. Mampukah melangkah lebih jauh? Atau sebaliknya, Perancis yang maju ke final dan berada selangkah dari sejarah cemerlang
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Barangkali, bahkan rakyat Maroko sendiri, awalnya tidak pernah bermimpi tim nasional mereka bisa sampai pada titik setinggi ini di Piala Dunia 2022.
Memang benar pemain-pemain mereka sekarang sudah lebih banyak menyebar di berbagai klub papan atas di liga-liga top Eropa. Benar juga bahwa mereka melangkah ke putaran final dengan cara yang sangat meyakinkan: tidak pernah kalah dalam delapan laga kualifikasi.
Satu hal barangkali yang jadi alasan. Maroko mendapat undian yang tidak bisa dibilang menguntungkan. Mereka masuk ke grup F yang berisi Belgia, Kroasia, dan Kanada. Hitungannya, pertama, sudah barang tentu peringkat FIFA. Hanya Kanada yang berada di bawah Maroko. Belgia peringkat 2, Kroasia 13, dan Kanada 41. Maroko berada di peringkat 22, atau nomor dua di zona Afrika, di bawah Senegal.
Kedua, head to head. Rekor pertemuan Maroko dengan Belgia dan Kroasia, meski belum banyak laga terjadi di antara mereka, terbilang kurang bagus. Lebih banyak kalah. Dengan Belgia skor 1-2, sedangkan Kroasia 0-1. Sebaliknya menghadapi Kanada angka kemenangan memang lebih condong ke Maroko. Dari empat pertemuan, Maroko menang 2 kali, kalah sekali dan imbang sekali.
“Tapi mungkin karena ini jugak Maroko pergi ke Qatar tanpa beban. Dalam pikiran orang tu, yang penting main saja, lah, main sebaiknya-baiknya, siapa tahu menang. Eh, ternyata Belgia lagi bapuk,” kata Tamsil Kalimaya diikuti tawa berderai. Lek Tuman dan Leman Dogol yang duduk di sampingnya ikut tertawa.
Setelah menahan imbang Kroasia 0-0, Maroko berhadapan dengan Belgia. Kecuali rakyat Maroko dan para petaruh yang nekat, tidak ada yang berani menyebut Maroko akan keluar dari lapangan sebagai pemenang. Paling hebat imbang. Walau tidak lagi “sesangar” di Rusia 2018 dan Euro 2020, Belgia masih datang dengan skuat ‘generasi emas’. Masih ada pemain-pemain kelas satu di sana.
Iya, setidaknya demikian penilaiannya, dan Maroko menunjukkan bahwa penilaian ini keliru. Maroko menunjukkan bahwa generasi emas Belgia cuma tinggal nama. Roberto Martinez, Pelatih Kepala Tim Nasional Belgia, menurunkan tujuh pemain berusia di atas 30 tahun dalam starting line up, dan ini tidak cukup untuk meladeni kecepatan dan kekuatan pemain-pemain Maroko.
“Ngap-ngap berasap kutengok pemain-pemain Belgia pas lawan Maroko. Menang memang orang tu penguasaan bola. Persis kayak Spanyol, lah. Oper sana oper sini, lego sana lego sini. Bola udah sampek atas disepak lagi ke bawah. Sekali kenak curi, langsung kenak adu lari, habis,” ujar Mak Idam yang sudah menghabiskan waktu lebih 30 menit bersama Sudung untuk membuka-buka koleksi foto Ivana Knoll di Instagram.
Maroko bermain dengan cara yang sama pada dua laga berikutnya. Mereka membangun pertahanan yang kokoh, bermain disiplin [sangat disiplin!], sembari mengintip peluang untuk mencecarkan serangan baik. Siasat yang efektif. Spanyol pulang, Portugal terbenam.
Namun di semi final lawan mereka adalah Prancis. Secara teknis, Prancis tidak bisa dihadapi dengan strategi yang diterapkan kontra Spanyol dan Portugal. Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, Les Blues –julukan Tim Nasional Prancis– punya penendang-penendang jitu, sekaligus pemain yang berani untuk masuk jauh ke jantung kotak penalti lawan. Spanyol dan Portugal tidak punya ini.
Garis pertahanan pemain-pemain Maroko pada dasarnya memunculkan celah yang memungkinkan lawan mendapat ruang untuk melepaskan tendangan dari luar kotak penalti. Spanyol berkali-kali mendapatkan kesempatan ini, tapi tidak dilakukan. Sergio Busquets, Gavi, Pedri, seakan tak punya keberanian untuk menghujamkan shooting.
Di lain sisi, mereka tak lagi punya pemain seperti Fernando Torres atau David Villa , untuk menusuk di kotak penalti. Alvaro Morata yang sebenarnya bisa, meski levelnya di bawah Torres dan Villa, malah dibangkucadangkan.
Masalah Portugal tidak jauh berbeda. “Waktu Ronaldo masuk, awak kira, lah, Maroko akan kesulitan. Paling enggak ada peluang Portugal dapat penalti. Ronaldo, kan, biasanya kek gitu, kan. Kalok lagi buntu, dibawaknya bola masuk ke kotak enam belas. Terus dilanggar lawan, lah, dia. Jatuh teguling-guling dia. Dapat penalti. Ternyata enggak gitu. Ronaldo malah cumak lari sana lari sini,” kata Lek Tuman.
“Ronaldo udah tua, Pak Kep,” sahut Leman Dogol. “udah tak jujut-jujut kali lagi larinya. Ibarat kereta, udah sendat. Udah turun mesin. Pas dia start gampang kali dikejar sama pemain-pemain Maroko.”
Ini juga yang jadi alasan kedua. Berbeda dari Spanyol dan Portugal, pemain-pemain Prancis memiliki kecepatan tinggi. Mereka adalah sekumpulan mobil-mobil sport yang bisa melesat sekelebatan angin. Peugeot RCZ-R, Citroen DS3 Racing THP, Renault Sport R.S.01, Alpine A110S, dan Kylian Mbappe –sudah barang tentu– adalah Bugatti Chiron Sport.
“Ada lima pemain Maroko main di Prancis. Enam kalok dihitung sama Romain Saiss yang dulu pernah lima tahun di sana sebelum pindah ke Inggris. Pastinya, sedikit banyak tahu jugak, lah, orang tu cemana isi perut Timnas Prancis. Apalagi Hakimi. Kawan dekat dia sama Si Mbappe,” kata Leman pula.
Perihal kecepatan memang tak ada yang meragukan Mbappe. Data speedsdb.com menunjukkan Mbappe mampu berlari 37,90 km per-jam. Ia jauh lebih cepat dari pemain Ghana, Kamaldeen Sulemana, yang sejauh ini menjadi yang paling laju di Piala Dunia 2022. Selemana, 20 tahun, berlari 35,7 km per-jam.
Achraf Hakimi jelas paham betul perihal bagaimana kencangnya Mbappe. Hakimi sehari-hari melihatnya dalam sesi latihan dan juga di pertandingan-pertandingan yang mereka jalani bersama di Paris Saint Germain. Hakimi selalu ikut merayakan gol-gol Mbappe dengan meriah. Bahkan sekiranya yang melesakkan gol adalah Lionel Messi atau Neymar atau pemain lain, mereka tetap merayakannya bersama, dengan gaya-gaya yang serba unik.
Keduanya berteman dekat, dan kini, mereka harus berhadap-hadapan dalam balutan jersey berbeda. Mereka akan bertaruh untuk marwah dan kehormatan negara masing-masing.
Pertanyaannya, apakah laga Prancis versus Maroko kelak akan membawa pengaruh pada pertemanan Hakimi dan Mbappe?
“Sebenarnya pertanyaan ini nggak cocok-cocok kali jugak,” sebut Sudung. Ia mengunduh tak kurang 34 foto dan tujuh video Ivana Knoll. “Mbappe pemain profesional. Hakimi jugak pemain profesional. Mestinya nggak ada masalah, kan, ya. Udah tahu, lah, orang tu mana batasan-batasannya. Mana pertemanan, mana profesional. Istilahnya, enggak boleh baper.”
Kalimat Sudung dipotong Tamsil Kalimaya. Menurutnya, profesionalitas ini bisa saja tergerus apabila yang mencuat adalah provokasi. Tamsil mencontohkan pertandingan Inggris melawan Portugal di Piala Dunia 2006. Inggris kalah dan kekalahan ini, satu di antaranya, ditengarai disebabkan oleh kartu merah Wayne Rooney. Dan orang yang paling provokatif meminta wasit mengeluarkan kartu merah adalah Cristiano Ronaldo.
Padahal Rooney dan Ronaldo sama-sama main di Manchester United. Sama-sama pemain muda yang jadi andalan –sekaligus kesayangan– Sir Alex Ferguson. Hampir mirip Mbappe dan Hakimi sekarang, banyak foto dan video yang menunjukkan kedekatan mereka.
“Kartu merah Rooney itu bikin hubungan orang tu dua jadi rusak. Sampek sekarang. Selama ini mungkin ditutup-tutupi, tapi makin ke sini makin jelas. Rooney masih dendam. Dia sering nyindir-nyindir Ronaldo,” ujar Tamsil.
Bagaimana jika tidak ada bentrok dan provokasi? Bagaimana kalau Hakimi dan Mbappe saling menghindar dan cari aman? Maroko akan sangat sulit mendapat angin untuk melewati Prancis.
Ada faktor keempat dan kelima, sebenarnya. Seperti berhadapan bermuka-muka versus Belgia dan Kroasia [sebelum piala dunia], Maroko kalah dalam head to head menghadapi Prancis. Bahkan kalah jauh. Maroko telah tujuh kali bentrok melawan Prancis dan tak pernah menang.
Mereka kalah lima kali dan hanya mampu kali menahan imbang. Laga sama kuat ini, 2-2, terjadi di laga terakhir pada 16 November 2007.
Faktor terakhir, motivasi. Prancis melangkah ke fase empat besar dengan cara yang terbilang meyakinkan. Mereka memang sempat kalah melawan Tunisia, tapi ini terjadi di laga yang tidak lagi menentukan, dan Didier Deschamp, sang pelatih kepala, memutuskan untuk mengistirahatkan pemain-pemain utama di tiap lini. Termasuk Mbappe, Antoine Griezmann, dan Olivier Giroud, top skor sepanjang masa Prancis.
Hanya Aurelien Tchouameni yang tetap masuk line up. Dan dengan mengusung format 4-1-4-1, Deschamps menempatkan Eduardo Camavinga sebagai bek kiri, posisi yang tidak pernah ditempatinya sepanjang hidupnya.
Di luar kekonyolan ini, Prancis tetap digdaya dan sudah sampai di semi final, dan kini tinggal berjarak selangkah dari sejarah yang cemerlang: juara dunia back to back alias dua kali beruntun.
Sepanjang penyelenggaraan Piala Dunia, hanya dua negara yang mampu melakukannya yakni Italia (1934 dan 1938) dan Brasil (1958 dan 1962). Jerman menorehkan sejarah lain pula. Dengan bendera Jerman Barat (ketika itu Jerman belum bersatu), mereka satu-satunya negara yang lolos ke final tiga kali berturut-turut pada 1982, 1986, dan 1990, tapi baru berhasil jadi juara di tahun 1990, mengalahkan Argentina yang juara pada 1986.
Namun terlepas dari menang atau kalah nanti, pencapaian Maroko telah menyeruakkan kebanggaan luar biasa pada tiap-tiap rakyat negeri ini.
Satu pencapaian yang tidak main-main. Mereka menjadi negara Afrika pertama yang lolos ke semi final piala dunia. Maka di mana-mana, di tiap penjuru negeri, terpampang simbol-simbol yang merepresentasikan sepak bola Maroko.
"Enggak heran, memang pasti bangga kali, lah,” kata Tok Awang. “Kita aja, pun, gitu. Baru menang dari Malaysia aja udah bangga. Menang lawan Curacao Shin Tae-yong setengah mati dipuja-puja. Bayangkan kelen cemana kalok kita yang sampek di semi final piala dunia. Bukan cumak jerseynya yang laku. Langsung diangkat Pak Prabowo orang tu semua jadi jenderal." (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/hakimimesssii2.jpg)