Piala Dunia di Kedai Tok Awang
Teringat Duel-duel Klasik
Piala Dunia 2022 kembali ke “setelan pabrik”. Kecuali Maroko, tujuh tim lain yang lolos ke babak perempat final adalah tim yang sejak awal diunggulkan
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Piala Dunia 2022 akhirnya memang benar-benar kembali ke “setelan pabrik”. Kecuali Maroko, tujuh tim lain yang lolos ke babak perempat final adalah tim yang memang sedari awal diunggulkan.
Brasil, jelas. Walau tidak benar-benar solid –setidaknya sampai sejauh ini belum teruji benar, terutama lini pertahanan– siapa berani menepikan mereka sebagai juara dunia lima kali? Lalu Prancis. Juara bertahan, datang dengan skuat yang mengkilap, dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan performa.
Selanjutnya Argentina yang masih datang dengan Lionel Messi. Di awal-awal kejuaraan, sempat mencuat keraguan terkait Messi. Apakah dengan usia yang makin mendekati senja untuk ukuran pesepak bola ia tetap digdaya, atau sebaliknya berubah jadi lelucon belaka.
Nyatanya Messi justru menggila. Empat laga dilalui Argentina ia sangat dominan. Situs-situs mencatat data sepak bola, pada keempat laga ini, selalu memberinya nilai di atas delapan.
Kemudian berturut-turut Belanda, Inggris, dan Kroasia. Belanda menghadirkan kekuatan baru, perpaduan pemain berpengalaman dan pemain muda bertalenta. Pun Inggris yang belum berhenti mengusung cita-cita mengembalikan sepak bola ke rumahnya. Adapun Kroasia sedikit mirip Belanda. Sejumlah bintang lawas bersiap untuk gantung sepatu digantikan oleh para bintang baru yang sedang melejit.
Terakhir ada Portugal, yang sebagaimana Argentina, masih dipimpin oleh legendanya. Cristiano Ronaldo, melakoni piala dunianya yang kelima, dan –berangkat dari wawancaranya dengan Pier Morgan yang menghebohkan– besar kemungkinan menjadi yang pamungkas.
Ronaldo memang tak setajam Messi. Di laga babak 16 besar ia bahkan tidak masuk jajaran starting eleven dan baru merumput saat laga bersisa kurang lebih 20 menit. Namun Ronaldo tetaplah Ronaldo. Selama dia berada di lapangan, maka bagi lawan bahaya akan selalu mengancam.
Di lain sisi, susunan bagan undian menciptakan episode baru dari duel-duel klasik. Belanda bakal berlaga kembali dengan Argentina, dan Inggris menghadapi Prancis.
“Awak kalok udah ketemu Argentina sama Belanda jadi teringat Mario Kempes,” kata Tok Awang, yang langsung disambut Sudung dan Sangkot dengan tawa berderai.
“Kalok tua janganlah nampak kali tuanya, Tok. Mario Kempes, bah! Awak pas Maradona main aja masih kencing celana,” ucap Sudung.
Sangkot menyambung. “Pas Mario Kempes main itu, Tok, Ocik masih lumayan, lah, ya. Masih begini,” ucapnya seraya membuat gerakan tangan mengikuti bentuk gitar.
Tok Awang ikut tertawa. “Untung tak ada Ocik kelen. Kalok ada bisa dicabenya mulut kelen,” ujarnya, lalu bilang bahwa kesan terbesarnya pada Mario Kempes bukan semata lantaran gesturnya yang flamboyan, lebih jauh juga karena kontribusi yang diberikannya pada Argentina.
“Waktu itu, walau tuan rumah, Argentina tidak diunggulkan. Belanda, biar pun Johan Cruff gak jadi ikut, tetap sangat kuat. Ada van de Kerkhof bersaudara. Ada Johan Neeskens, Johnny Rep, Ruud Krol, dan Rob Rensenbrink. Belum lagi Brasil dan Jerman Barat yang datang dengan pemain-pemain muda yang cemerlang. Ada Zico, ada Rummenigge. Italia juga nggak kalah dahsyat.”
Argentina bertemu Belanda di final dan laga berkesudahan 3-1. Kempes melesakkan dua gol. Setelah itu, kedua tim bertemu enam kali lagi. Tiga di antaranya di piala dunia, masing-masing pada edisi 1998, 2006, dan 2014. Dua yang terakhir berkesudahan imbang.
“Nah, kalok yang 1998 awak udah nonton, Tok,” seru Sudung lagi. “Belanda menang 2-1. Dennis Bergkamp yang jadi penentu. Sakit kali golnya itu kurasa, udah menit 90.”
Bagaimana kali ini? Kubu terbagi dua. Leman Dogol, Mak Idam, dan Sudung menjagokan Belanda, sedangkan Tok Awang, Lek Tuman, Sangkot, dan Jek Buntal pegang Argentina. Jontra Polta mengambil jalan tengah. Ia memperkirakan pertandingan berkesudahan imbang di 2x45 plus babak tambahan.
“Pertandingan ke adu penalti dan Belanda yang menang. Noppert jadi pahlawan seperti Yassin Bounou,” katanya.
Penjaga gawang Maroko, Yassin Bounou menjadi isu global pascamenunjukkan kecemerlangan di laga perdelapan final kontra Spanyol. Menakjubkan sepanjang waktu normal, Bounou mencatat tiga penyelamatan sensasional di babak adu penalti.
Dibanding Bounou, kisah Andries Noppert lebih menarik. Lebih dramatik. Nama Bounou memang tidak setenar Alisson Becker misalnya. Tidak sementereng Thibaut Courtois, atau Gianluigi Donnaruma dan David de Gea yang tak mentas di Piala Dunia. Namun setidak-tidaknya dia bermain untuk klub-klub besar dan mendapatkan peran penting di sana.
Noppert tidak. Dia kiper “antah barantah”, kiper yang bertualang dari klub kecil yang satu ke klub kecil lain, dan hampir semuanya dengan peran yang juga sangat minim. Noppert bahkan pernah dua musim menganggur lantaran tak ada klub yang mau memakai jasanya.
Sampai kemudian di awal musim ini, klub masa remajanya Heerenveen, “menariknya pulang”, dan entah bagaimana, Noppert tiba-tiba menjadi “sakti”.
“Sekali dikasih kesempatan main, gawangnya nggak kebobolan. Terus di pertandingan berikutnya enggak kebobolan jugak. Sampai 14 pertandingan, dia jadi pemain inti terus. Louis van Gaal yang sedang kebingungan carik kiper langsung terpesona. Tahu kelen, waktu lawan Ekuador, itulah caps pertama Si Noppert ini,” kata Jontra Polta.
“Biasanya kalok kiper yang kayak gini lucky-nya akan keterusan,” ujar Mak Idam pula. “Ingat kelen dulu ada kiper Argentina namanya Goycochea. Sebelum Piala Dunia 1990, enggak ada yang sebut-sebut namanya. Kenal jugak enggak. Lalu tiba-tiba Pumpido cedera, dia main, dan sejak itu gawang Argentina payah dibobol lawan.”
Sergio Javier Goycochea, 26 tahun waktu masuk skuat pilihan Carlos Bilardo ke Italia. Dibanding Nery Pumpido tentu dia bukan siapa-siapa. Pumpido alumnus dua piala dunia sebelumnya di Spanyol 1982 dan 1986. Di level klub, Pumpido mengawal gawang klub Liga Spanyol Real Betis.
Goycochea sendiri baru mencatat satu caps. Setelah enam musim bermain untuk Riverplate, pada musim 1988-1989, dia terbang ke Kolombia untuk memperkuat klub bernama Millonarios.
Perbandingan ini membuat penempatan Goycochea sebagai penghangat bangku cadangan terasa wajar. Namun nasib kemudian berkata lain. Kontra Uni Soviet di pertandingan kedua, Pumpido mengalami patah tangan saat laga baru berjalan 11 menit. Goycochea masuk. Argentina menang di laga itu, lalu imbang di laga selanjutnya melawan Rumania, dan pasukan Tango melaju ke putaran kedua dengan status sebagai peringkat tiga terbaik.
“Kesaktian” Goycochea makin nyata di fase gugur. Argentina yang kelewat beruntung berturut-turut menyingkirkan Brasil, Yugoslavia, dan Italia. Dua yang terakhir lewat adu penalti, dan Goycochea mengadang tiga eksekutor Yugoslavia dan dua Italia.
“Noppert bisa saja mengekor jejak Goycochea, tapi jangan kalian lupa faktor Lionel Messi,” kata Zainuddin. “Dia sedang on fire. Sulit menghentikan Messi dalam situasi seperti ini.”
“Pemain-pemain Belanda jugak nggak kalah ngeri, Pak Guru,” sahut Sudung. “De Jong, Van Dijk, Noppert. Jangan lupa ada Gakpo dan Memphis Depay. Belanda sedang gacor-gacornya. Nggak ada celahnya. Mirip-mirip Prancis, lah.”
Selain Belanda, Sudung menjagokan Prancis untuk lolos ke empat besar. Pertimbangannya adalah komposisi lini per-lini yang solid. Ini membuat, bilang Sudung, statistik bisa dikesampingkan.
“Prancis sama Inggris ini udah sering main. Kalok tak silap ada 31 kali. Inggris menang 17 kali dan Prancis cumak sembilan kali. Yang terakhir menang itu di uji coba, tahun 2017. Udah agak lama. Pemain-pemainnya pun udah banyak yang ganti. Sekarang Prancis lebih paten-paten pemainnya,” ucap Sudung.
Kalimat ini langsung disergah Jek Buntal. Menurut Jek, pemain-pemain Inggris tak kalah jempolan. “Ini bintang lawan bintang. Kualitasnya sebelas dua belas dan karena itu mental jugak yang jadi penentu. Dan kurasa, mental pemain-pemain Inggris tak kalah dari Prancis,” ujarnya.
“Setuju aku,” kata Lek Tuman menimpali. “Cumak satu yang bikin aku agak kembut. Ngeri-ngeri sedap! Harry Maguire! Kalok penyakitnya datang, gawat kali, bisa dilibasnya gawang sendiri.”
Pembahasan terus memanjang. Dua laga lain, Brasil versus Kroasia dan Maroko kontra Spanyol belum terbilang laga klasik. Brasil baru empat kali bertemu Kroasia.
Brasil mendominasi dengan torehan tiga kemenangan dan satu kali imbang. Kemenangan terakhir Brasil diperoleh di laga uji coba internasional pada 3 Juni 2018. Gol-gol dilesakkan Neymar dan pemain yang tidak dibawa ke piala dunia kali ini, Roberto Firminho.
Adapun Maroko dan Portugal termasuk yang paling jarang bertemu. Baru dua kali, dan keduanya di kancah Piala Dunia, masing-masing pada Piala Dunia 1986 dan 2018. Mereka bergantian menang.
Tahun 1986, Maroko menggasak Portugal 3-1, sedangkan pada Piala Dunia 2018, pada 20 Juni, ganti Portugal menang 1-0.
“Maroko sedang semangat-semangatnya ini,” ucap Leman Dogol. “Aku, kok, ya feeling orang ini bisa bikin kejutan lagi.”
Maroko telah sampai di perempat final dan menyamai rekor Kamerun (1990), Senegal (2002), dan Ghana (2010). Dari ketiga negara ini, Ghana sudah berada dalam jarak paling dekat dengan fase empat besar. Kontra Uruguay, ketika skor 1-1 sepertinya akan bertahan, Ghana mendapatkan satu peluang bagus di penghujung laga.
Dalam kemelut di kotak penalti Uruguay, sundulan Dominic Adiyiah yang meluncur ke gawang kosong diblok menggunakan tangan oleh Luiz Suarez. Wasit mengusir Suarez dan memberikan penalti untuk Ghana. Sungguh sayang, penalti itu gagal berbuah gol. Tendangan Asamoah Gyan melambung melewati mistar gawang.
“Keren memang main Maroko waktu lawan Spanyol. Cumak nggak bisa lagi mereka main kayak gitu. Portugal bukan Spanyol. Mereka nggak main oper sana oper sini lupa nyetak gol. Tengok, lah, pas main lawan Swiss itu. Ada peluang sikit, gas,” ujar Mak Idam.
“Apalagi kalok Ronaldo nggak main, ya, Mak,” timpal Sangkot. “Makin paten. Berani jugak Santos itu nyadangin Ronaldo.”
Perihal Ronaldo ini kemudian memunculkan pembahasan baru. Sebagian mendukung ucapan Sangkot. Sebagian lagi tidak. Zainuddin menyebut, Fernando Santos belum tentu akan mengulang strateginya. Boleh jadi, melawan Maroko, dia justru mengambalikan Ronaldo ke starting line up.
“Jadi intinya tengok-tengok lawan, lah. Pas jumpa Swiss, mungkin Ronaldo akan jadi pengganggu di depan karena sistem pertahanan Swiss yang rapat. Maroko mungkin beda. Ada peluang bagi pemain seperti Ronaldo untuk menusuk jauh ke dalam kotak 16. Dengan akselerasinya, untung-untung bisa dapat penalti,” katanya.
Detik berselang, Sudung dan Sangkot, juga Jek Buntal, berteriak nyaris serentak. “Penaldooo!” (t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/bolaklasik1.jpg)