Pilpres 2024

Ambisi Demokrat dan Nasdem Mencalonkan Pasangan Anies-AHY Kini Penentuannya di Tangan PKS

Partai Nasdem resmi mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) yang akan diusung pada Pilpres 2024 mendatang. 

Editor: AbdiTumanggor
Twitter
WACANA DUET ANIES-AHY: Foto bersama Ketua Umun Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PKS Ahmad Syaikhu, dan Ketua Umum Partai Demokrat AHY bertemu Jusuf Kalla (JK) dan Anies Baswedan di acara kondangan Kader Partai NasDem pada Minggu kemarin. Foto bersama ini viral di media sosial. 

TRIBUN-MEDAN.COM - Partai Nasdem resmi mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) yang akan diusung pada Pilpres 2024 mendatang. 

Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022).

"Pilihan capres Nasdem adalah yang terbaik daripada yang terbaik. Inilah akhir Nasdem memberikan seorang sosok Anies Baswedan," ujar Paloh.

"Soal cawapres, kalau Nasdem, kita kasih otoritas kepada Bapak Anies," ujar Paloh.

Paloh menjelaskan, Nasdem tidak bisa menentukan siapa sosok yang dirasa cocok untuk mendampingi Anies Baswedan di Pilpres 2024.

Dia khawatir, jika Nasdem yang menentukan, Anies merasa tidak cocok dengan pasangannya. "Bagaimana kita mau pilih calon wapres yang tiba-tiba enggak cocok. Belum apa-apa sudah cari penyakit," ucapnya.

Partai Demokrat Ingin AHY Capres

Di sisi lain, Partai Demokrat sebelumnya disebut-sebut menginginkan Ketua Umum, Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, untuk maju sebagai capres dalam Pemilu 2024.

Nama Anies dan AHY memang mencuat sebagai pasangan yang didambakan oleh partai berlambang Bintang Mercy itu. Adapun Demokrat dan Partai NasDem diketahui intens menjalin komunikasi dalam rangka membangun koalisi untuk Pilpres 2024.  Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat bertemu dengan Surya Paloh beberapa waktu lalu.

Menurut Wakik Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali, jika Partai Demokrat berkukuh mencalonan AHY (jadi capres) maka hal ini sulit untuk tidak didiskusikan.  Ia pun mempertanyakan nasib Partai NasDem dan PKS jika salah satu mitra koalisi mensyaratkan kadernya untuk maju jadi Capres dalam Pilpres 2024.

“Bukan hanya PKS, tapi Partai NasDem gimana posisinya kalau ada satu partai yang mempersyaratkan kadernya? Di sisi lain kami ingin bangun koalisi yang punya pandangan sama bahwa parpol hanya satu wadah yang diberi negara untuk melakukan sirkulasi kepemimpinan,” kata dia.

Ali mengatakan syarat mengajukan kader internal partai bisa berujung pada semakin menjauhnya masyarakat dari parpol. Sebab, parpol mencitrakan diri sebagai wadah bagi orang-orang eksklusif.

Kendati begitu, Ali menyebut komunikasi dengan Demokrat dan PKS semakin maju dan membaik. Ia tak menampik jika peluang terbentuknya koalisi mencapai 80 persen. “Hari ini persamaannya 80 persen akibat sering ketemu. Tidak ada yang deadlock, terus dibangun komunikasi untuk kesamaan pandangan dan lain-lain itu,” ujarnya.

Meloloskan Pasangan Anies-AHY Ada di Tangan PKS

Sementara, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu mengatakan pihaknya belum menentukan pilihan untuk mengusung kandidat calon presiden (capres) 2024.

Hal itu disampaikan menanggapi keputusan Partai Nasdem yang akhirnya mengusung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres di pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

“Keputusan koalisi dan pencapresan di internal PKS akan ditentukan dalam mekanisme Musyawarah Majelis Syuro,” kata Syaikhu dalam keterangannya dikutip dari Kompas.com, Senin (3/10/2022).

Namun, ia tak menjelaskan secara rinci kapan Musyawarah Majelis Syuro bakal digelar.

Terkait deklarasi Nasdem, Syaikhu menghormati langkah politik yang ditempuh oleh Surya Paloh dkk. “Setiap partai politik memiliki mekanisme internal dalam memutuskan sikapnya terkait koalisi dan pencapresan,” ujarnya.

Ia juga mengapresiasi pilihan Partai Nasdem untuk mendorong Anies Baswedan. Dalam pandangannya, Anies memiliki rekam jejak kepemimpinan yang mumpuni. “Berjiwa nasionalis religius, memiliki kapasitas untuk memimpin bangsa dan mampu menjadi simbol perubahan untuk Indonesia di masa mendatang,” katanya.

Di sisi lain, Syaikhu juga menegaskan hubungan PKS dengan Partai Demokrat dan Partai Nasdem tetap terjaga.

Diketahui, ketiga parpol itu disebut-sebut tengah menjajaki pembentukan koalisi guna menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. “Kami bersyukur bahwa komunikasi politik antara PKS, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat berlangsung sangat baik, terbuka, setara,” ujarnya. “Saling percaya untuk bersama-sama memilih calon pemimpin bangsa yang terbaik bagi rakyat Indonesia,” sambung Syaikhu.

Peta politik Pilpres 2024

Peta politik memungkinkan terbentuknya 4 poros koalisi menjelang Pilpres 2024.

Mereka yang berkoalisi adalah Partai Golkar, PAN, dan PPP dalam Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB serta Partai Gerindra-PKB. Dua partai terakhir baru-baru ini menyatakan mereka berkoalisi yaitu Demokrat, Nasdem dan PKS.

Berikut kemungkinan hitung-hitungan koalisi di Pilpres 2024:

I. KIB (Koalisi Indonesia Bersatu)

- Golkar 14,78 persen  kursi DPR
- PAN 7,65 persen kursi DPR
- PPP 3,3 persen  kursi DPR
- Total kursi ketiga partai: 25,73 persen kursi DPR RI

II. Gerindra-PKB

- Gerindra 13,75 persen kursi DPR
- PKB 10,09 persen kursi DPR
- Total kursi kedua partai: 23,84 persen kursi DPR RI

III. PDIP

- Total kursi PDI Perjuangan: 22,26 persen kursi DPR

IV. NasDem, Demokrat, dan PKS

- NasDem 10,26 persen kursi DPR
- Demokrat 9,39 persen kursi DPR
- PKS 8,7 persen kursi DPR
- Total kursi ketiga partai: 28,35 persen kursi DPR RI

Sejarah presidential threshold di Indonesia

Pemilu 2004

Dari pemilu ke pemilu, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden berubah-ubah. Di Indonesia, presidential threshold pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Ketentuan ambang batas itu pun kali pertama diterapkan pada Pemilu 2004, bertepatan dengan pertama kalinya Indonesia melangsungkan pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung.

Pemilu 2009

Lima tahun setelahnya atau pada Pilpres 2009, besaran presidential threshold berubah. Hal ini diikuti dengan berubahnya UU Pemilu. Saat itu, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 42 Tahun 2008. Dengan ketentuan tersebut, ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. SBY-Budiono pun keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 60,80 persen.

Pemilu 2014

Adapun pada Pilpres 2014 besaran presidential threshold tak berubah. Pilpres 2014 tetap mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 2008. Dengan dasar tersebut, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pileg.

Ketika itu hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi-JK berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara 53,15 persen, mengungguli Prabowo-Hatta yang mendulang suara 46,85 persen.

Pemilu 2019

Besaran presidential threshold kembali berubah pada Pilpres 2019. Ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 222 UU itu menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Adapun pada pilpres tahun 2004, 2009, dan 2014, digunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pileg yang dilaksanakan sebelumnya sebagai presidential threshold. Pada ketiga gelaran pilpres itu, pileg dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres. Sementara, pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Hal ini karena pelaksaan pilpres dan pileh dilaksanakan serentak pada April 2019. Pilpres 2019 kembali diikuti oleh 2 pasangan calon yakni Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno.Jokowi-Ma'ruf tampil sebagai pemenang dengan perolehan suara 55,50 persen mengalahkan Prabowo-Sandiaga yang mengantongi 44,50 persen suara.

Pilpres 2024

Kini, jelang Pilpres 2024 isu tentang presidential threshold kembali mencuat. Sejumlah pihak ingin ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dihapuskan karena dinilai membatasi demokrasi.

Baca juga: EMANG BISA Nasdem dan Demokrat Dukung Capres Sendiri? Berikan Pilihan Pada Anies Jadi Capres atau Cawapres 2024

(*/tribun-medan.com/kompas.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved