Pemilu 2024

IDEALNYA 3 Pasangan Calon Pilpres 2024, Ini Alasannya

Presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR RI atau persentase raihan suara bagi partai politik.

Editor: AbdiTumanggor
twitter/pramono anung
POTRET Pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto setelah Pilpres 2019. 

TRIBUN-MEDAN.COM - Rangkaian Pemilu 2024 wajib dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Maka, tanggal tersebut telah jatuh pada hari Selasa, 14 Juni 2022, lalu.

Di sisi lain, dalam pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung di Indonesia dikenal dengan istilah aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. 

Presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR RI atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Alasan penerapan Aturan ambang batas pencalonan presiden itu diberlakukan dengan sejumlah tujuan.

Pertama memperkuat sistem presidensial.

Dalam sistem presidensial, presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat akan memiliki kedudukan yang kuat secara politik.

Hal itu membuat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan secara mudah karena alasan politik.

Kedua, penerapan presidential threshold adalah demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Jika sistem itu tidak diterapkan, bisa saja presiden dan wakil presiden yang terpilih diusung oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen.

Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar presiden dan wakil presiden sebagai lembaga eksekutif bakal kesulitan dalam menjalankan pemerintahan karena bakal diganggu oleh koalisi mayoritas di parlemen.

Ketiga, penerapan presidential threshold adalah demi menyederhanakan sistem multipartai melalui seleksi alam.

Diterapkan Sejak Pemilu 2004

Aturan presidential threshold mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004.

Saat itu untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.

Aturan presidential threshold pencalonan presiden mengalami beberapa perubahan ketentuan.

Pelaksanaan pilpres secara langsung tersebut merupakan hasil Reformasi melalui amandemen ketiga UUD 1945, yakni Pasal 6A ayat 1, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat."

Selain itu, amandemen UUD 1945 (terutama amandemen ketiga dan keempat), juga menetapkan beberapa kriteria pemilihan presiden dan wakil presiden. Antara lain waktu pelaksanaan, peserta pemilihan, syarat pengusulan, hingga penetapan pasangan calon (paslon) terpilih.

Dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

Aturan itu menyatakan hanya partai politik dan gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR RI yang dapat mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden.

Peran partai politik dan gabungan partai politik dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden tersebut diatur dalam UU yang menghasilkan istilah syarat ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold.

Dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Aturan tentang presidential threshold kembali diubah menjelang Pilpres 2009.

Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Aturan ambang batas pencalonan presiden pada Pilpres 2014 tetap sama seperti pada Pilpres 2009.

Lantas pada Pilpres 2019, aturan presidential threshold kembali berubah.

Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pada pilpres 2004, 2009, dan 2014, patokan yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pemilihan legislatif (pileg) yang dilaksanakan sebelumnya sebagai presidential threshold.

Pada ketiga gelaran pilpres itu, pemilu dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres.

Sedangkan pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Hal ini karena pelaksaan pilpres dan pemilu legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019.

Sementara, pada Pilpres 2024 sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hanya PDI Perjuangan yang dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden sendiri.

Hal itu karena hari pemungutan suara Pilpres 2024 kembali digelar serentak dengan pileg pada 14 Februari 2024, maka, ambang batas yang akan digunakan pada Pilpres 2024 adalah perolehan jumlah kursi DPR atau suara sah nasional partai pada Pileg 2019.

Adapun jumlah total kursi di DPR RI saat ini sebanyak 575 kursi. Untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden, partai politik atau gabungan partai politik sedikitnya harus memiliki 20 persen dari 575 kursi DPR RI.

Jika dikalkulasi, 20 persen dari 575 kursi akan menghasilkan 115 kursi. Artinya, partai politik atau gabungan partai politik paling tidak harus memiliki 115 kursi di DPR RI untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain menggunakan perhitungan jumlah kursi di DPR, cara lainnya untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden di Pilpres 2024 ialah mendapat perolehan suara minimal 25 persen di Pileg 2019.

Dikutip dari Kompas.com, berikut hasil perolehan suara 9 partai politik yang lolos ke Parlemen pada Pemilu 2019 beserta perolehan kursinya di DPR RI:

1. PDI-P: 128 kursi
Jumlah suara: 27.503.961 (19,33 persen)

2. Golkar: 85 kursi
Jumlah suara: 17.229.789 (12,31 persen)

3. Gerindra: 78 kursi
Jumlah suara: 17.596.839 (12,57 persen)

4. Nasdem: 59 kursi
Jumlah suara: 12.661.792 (9,05 persen)

5. PKB: 58 kursi
Jumlah suara: 13.570.970 (9,69 persen)

6. Demokrat: 54 kursi
Jumlah suara: 10.876.057 (7,77 persen)

7. PKS: 50 kursi
Jumlah suara: 11.493.663 (8,21 persen)

8. PAN: 44 kursi
Jumlah suara: 9.572.623 (6,84 persen)

9. PPP: 19 kursi
Jumlah suara: 6.323.147 (4,52 persen)

Sedangkan, 7 partai lain tidak lolos ke parlemen karena perolehan suaranya di bawah ambang batas 4 persen.

Ketujuh partai tersebut adalah Perindo, Partai Berkarya, PSI, Partai Hanura, PBB, Partai Garuda, dan PKPI.

Idealnya 3 Pasangan Calon, Menghindari Polarisasi Politik Semakin Ekstrem

Demokrasi Indonesia saat ini mengalami tantangan yang tidak ringan. Pilpres 2014 telah menanam embrio polarisasi politik akibat kontestasi politik yang antagonis. Polarisasi politik, seperti juga konflik dalam masyarakat adalah sesuatu yang melekat (inhern) dalam proses demokrasi.

Maka dalam perhelatan Pemilu 2024 nanti, setidaknya harus ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal itu untuk mengurangi polarisasi politik yang semakin ekstrem (keterbelahan). Partai politik peserta pemilu juga harus bisa memperhatikan suara yang berkembang di dalam masyarakat.

Di mana dalam faktanya, fenomena polarisasi politik akibat perbedaan pilihan politik justru tidak memudar tatkala pemilu sudah usai, sebaliknya tumbuh semakin subur dalam demokrasi di tingkat nasional dan lokal.

Pertengkaran simbolik ”cebong” versus ”kampret” yang berkembang subur di tengah kompetisi politik pada saat Pilpres 2019 bertransformasi menjadi ”kadrun” versus ”togog”.

Langkah Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin yang ingin memupus pertarungan simbolik itu pun kurang berdampak.

Masuknya Prabowo Subianto dan Partai Gerindra dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju (KIM) ternyata tidak bisa memupus pertengkaran simbolik di aras bawah (grass roots).

Seperti hukum alam, sekali menanam angin, kita akan menuai badai.

Demikian pula dengan fenomena polarisasi politik dalam demokrasi kita, tidak luntur dan rasanya sulit hilang karena fenomena pertengkaran politik akibat perbedaan pilihan masih saja terjadi dan semakin meluas dengan melibatkan dua aras sekaligus, aras elite politik dan aras arus bawah.

Salah satu bahaya dari polarisasi politik yang bertransformasi melalui beragam bentuk yang senantiasa berlawan (antagonis) bagi demokrasi kita ialah munculnya pembelahan politik (political cleavage) yang ekstrem.

Pembelahan politik seperti itu bisa menyebabkan pembusukan politik (political decay) bagi demokrasi karena institusi-institusi demokrasi yang penting justru tidak bisa berfungsi sebagai jembatan bagi terwujudnya perbedaan politik dalam ruang demokrasi yang damai dan berkeadaban (civility).

Pembelahan politik pada dasarnya hampir tumbuh dalam sebagian besar sistem demokrasi, khususnya bagi negara yang menerapkan sistem multipartai.

Pendirian partai-partai politik di sebagian besar negara muncul dan lahir dari konsekuensi logis perbedaan ideologi, representasi dan kepentingan yang berbeda.

Perbedaan itu termanifestasikan dalam bentuk organisasi partai politik sebagai wujud perkumpulan para anggota yang memiliki ideologi yang sama untuk membentuk organisasi politik agar bisa terlibat dalam proses politik dan akumulasi kekuasaan.

Secara alamiah, pembelahan politik (political cleavage) merupakan dampak dari kehadiran parpol sebagai representasi politik kepentingan warga negara yang berbeda atau tidak sama.

Persoalannya bukan pada pembelahan politik sebagai akar sekaligus basis pendirian partai-partai politik di Indonesia pascareformasi. Problem utamanya terletak pada bagaimana transformasi ideologi partai untuk memperoleh kekuasaan dengan mempertentangkan ideologi yang terus-menerus antagonis.

Pemilu langsung sebenarnya memberikan ruang bagi tumbuhnya pertentangan ideologis secara sistemik sehingga setiap calon bisa menunjukkan perbedaan ideologis sesuai dengan sifat ideologi yang tecermin dari garis perjuangan (platform) partai. Namun, dalam praktinya, ideologi politik yang dibangun oleh partai cenderung didorong ke arah ideologi yang sifatnya propaganda, berseberangan dan menumbuhkan ”kebencian”.

Secara natural dan politik, platform partai harusnya diwujudkan dalam gagasan dan program politik yang membumi. Garis perjuangan partai seperti itu sifatnya umum dan natural dalam berpolitik. Namun yang disayangkan ialah dalam praktik demokrasi Indonesia, garis perjuangan partai menjadi kabur dan kalah oleh kepentingan kontestasi politik.

Kepentingan elektoral lebih menonjol ketimbang kepentingan besar untuk membawa kehidupan politik bangsa ini lebih baik. Politik nasional cenderung mengarahkan perjuangan partai secara sempit, kebutuhan jangka pendek sehingga partai politik membangun wacana yang bersumber dari identitas yang terpolitisasi.

Politik identitas (political identity) dalam sejarah politik Indonesia dan sejumlah negara yang menerapkan sistem multipartai sebenarnya hal yang biasa. Artinya, demokrasi tetap memberikan ruang bagi orang untuk menentukan pilihan politiknya sesuai dengan kedekatan identitas sosial, budaya, dan politiknya.

Persoalan akan muncul manakala politik identitas kemudian dipertentangkan dan dijadikan sebagai sumbu perbedaan dalam membangun politik praktis sebagai basis dukungan politik kontestasi. Ideologi diarahkan secara sempit sebagai manifestasi dari 'orang kita' dan 'kelompok kita'.

Ilustrasi sederhananya, orang bisa memiliki jarak sosial dan politik terhadap sebuah partai yang didasarkan pada perbedaan identitas sosial dan politik yang mereka miliki. Menjadi masalah ketika ada unsur pertentangan yang dimaknai secara paksa, bahwa calon yang berbeda agama, basis sosial, politik, kedaerahan, dan perbedaan identitas lainnya tidak diberikan ruang dalam proses demokrasi.

Identitas dimaknai sempit semata-mata sebagai basis elektoral (pemilihan) sehingga mendorong sesama anak bangsa bisa saling caci maki, larut dalam politik ”kebencian” yang mengakibatkan terjadinya benturan akibat beda pilihan politik.

Menguatnya identitas simbolik

Pengembangan wacana identitas politik sebagai basis dalam membangun dukungan bukanlah fenomena satu kelompok. Ada gejala tumbuhnya gagasan simbolik ke dalam kelompok dengan mewacanakan ide dan gagasan yang sepihak dan bertentangan.

Segmentasi politik internal menyebabkan 'tertutupnya ruang dialog' dan munculnya kepemimpinan kelompok yang tidak lintas batas. Kontestasi politik juga telah berubah menjadi arena politik pasar dengan hukum dasarnya, permintaan dan penawaran. Ada transaksi yang sifatnya ekonomi, bisa juga transaksi yang sifatnya simbolik, ideologis, bahkan hingga transaksi politik uang dan kekuasaan.

Tidak ada proses politik yang tanpa transaksi. Semua itu bermuara pada kebutuhan politik jalan pintas akibat proses regenerasi kepemimpinan alamiah tergantikan oleh kepemimpinan karbitan dengan kuatnya jalur politik keluarga (dinasti) dan personal.

Sumber regenerasi kepemimpinan lebih mengedepankan jalur tradisionalis-karismatik-materialistik ketimbang pada jalur regenerasi kaderisasi partai yang terukur dengan basis kemampuan dalam berpolitik.

Dominasi jalur tradisionalis-karismatik-materialistik dalam regenerasi kepemimpinan menyebabkan munculnya calon-calon dadakan dan keturunan. Akibatnya, ruang politik kita disesaki oleh pertarungan kepentingan, seperti kepentingan dinasti, kelompok, dan kepentingan ”orang kita”, daripada pertarungan gagasan dalam ruang demokrasi.

Sumber kepemimpinan nasional sepertinya didorong oleh model kontestasi keturunan. Publik dipaksa oleh elite dan tidak memiliki pilihan karena elitelah yang berhak menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin, sedangkan pemilih (konstituen) hanya cukup berperan memberikan legitimasi melalui pemilihan.

Kepemimpinan politik yang lahir melalui jalur tradisionlis-karismatik-materialistik akhirnya hanyut dalam sejumlah praktik politik anomali. Semua cara digunakan, termasuk membangun dan mengembangkan wacana identitas politik yang dipolitisasi sebagai jalan pintas untuk meningkatkan elektabilitas dan tingkat kemungkinan agar tetap terpilih. Pola demikian bukan saja terjadi pada aras politik di tingkat nasional semata, tetapi telah merambah pada aras politik di tingkat lokal.

Reproduksi polarisasi politik dalam wujudnya seperti sekarang sebagian besar akibat kebutuhan politik jalan pintas dan jangka pendek. Polarisasi politik dengan ragam transformasinya menjadi strategi segmentasi politik yang merefleksikan kebutuhan elite dalam membangun imajinasi politik jalan cepat melalui simbol-simbol elektoral yang berbasis identitas, seperti kelompok kita, orang kita, asal agama, asal daerah, dan lain-lain.

Transformasi polarisasi politik menjadi pembelahan politik yang ekstrem, seperti antara ”kadrun” versus ”togog” serta pembedaan politik ”orang kita” versus ”kubu musuh”, harus kita sadari sebagai jebakan politik jangka pendek. Secara esensial tidak akan menguntungkan warga negara, tetapi lebih menguntungkan elite politik dalam merebut dan mempertahankan kekuasaannya.

Praktik politik demikian pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia sebelumnya yang akhirnya menyeret bangsa ini dalam warisan politik kekerasan yang cukup panjang. Oleh karena itu, polarisasi politik dengan karakternya di atas akan terus menghantui perkembangan demokrasi Indonesia apabila terus-menerus direproduksi dalam praktik dan proses demokrasi elektoral.

Apalagi bila pertentangan politik itu menyeret dua simbol besar ideologi politik Indonesia, simbolik ”Islam versus Nasionalis”. Gejala ini semakin kelihatan dan berbagai wujud dari transformasinya terlihat nyata dalam ruang politik, hukum, dan pemerintahan. Semua itu sebenarnya bermula dari percobaan politik kontestasi yang ternyata dampaknya bisa panjang bagi sejarah kita sebagai sebuah bangsa ke depan.

Legasi politik kekerasan, politik yang memukul dan bukan merangkul, telah terbukti oleh sejarah politik bangsa mana pun akan menyisakan ”dendam politik” yang bisa mendorong siklus politik kekerasan yang terus berulang.

Dalam bahasa sederhana, demokrasi yang bersendikan kekerasan akan menyimpan potensi siklus pertentangan politik yang sulit diakhiri.

Oleh karena itu, saat ini demokrasi Indonesia membutuhkan ruang bersama untuk melakukan dialog gagasan untuk membangun kemajuan bangsa ini tanpa paksaan, tanpa ancaman dan tanpa penindasan.

Tahapan Pemilu Serentak 2024

Rangkaian Pemilu 2024 wajib dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara pada 14 Februari 2022. Maka, tanggal tersebut jatuh pada 14 Juni 2022.

Berikut ini tahapan dan jadwal Pemilu 2024 sesuai dengan PKPU Nomor 3 Tahun 2022

1. Perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu (Selasa, 14 Juni 2022 - Jumat 14 Juni 2024)

2. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih (Jumat, 14 Oktober 2022 - Rabu, 21 Juni 2023)

3. Pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu (Jumat, 29 Juli 2022-Selasa, 13 Desember 2022)

4. Penetapan peserta pemilu (Rabu, 14 Desember 2022)

5. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan (Jumat, 14 Oktober 2022 - Kamis, 9 Februari 2023)

6. Pencalonan anggota DPD (Selasa, 6 Desember 2022- Sabtu, 25 November 2023)

7. Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota (Senin, 24 April 2023 - Sabtu, 25 November 2023)

8. Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Kamis, 19 Oktober 2023 - Sabtu, 25 November 2023)

9. Masa kampanye pemilu (Selasa, 28 November 2023 - Sabtu, 10 Februari 2024)

10. Masa tenang (Minggu, 11 Februari 2024 - Selasa, 13 Februari 2024)

11. Pemungutan suara (Rabu, 14 Februari 2024)

12. Penghitungan suara (Rabu, 14 Februari 2024 - Kamis, 15 Februari 2024)

13. Rekapitulasi hasil penghitungan suara (Kamis, 15 Februari 2024 - Rabu, 20 Maret 2024)

14. Penetapan hasil pemilu (paling lambat 3 hari setelah pemberitahuan MK atau 3 hari setelah putusan MK)

15. Pengucapan sumpah/janji DPR dan DPD (1 Oktober 2024)

16. Pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden (20 Oktober 2024).

Tahapan Pemilu Jika 2 Putaran:

1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih (Jumat, 22 Maret 2024 - Kamis, 25 April 2024)

2. Masa kampanye pemilu (Minggu, 2 Juni 2024 - Sabtu, 22 Juni 2024)

3. Masa tenang (Minggu, 23 Juni 2024 - Selasa, 25 Juni 2024)

4. Pemungutan suara (Rabu, 26 Juni 2024)

5. Penghitungan suara (Rabu, 26 Juni 2024 - Kamis, 27 Juni 2024)

6. Rekapitulasi hasil penghitungan suara (Kamis, 27 Juni 2024 - Sabtu, 20 Juli 2024).

Sebagian artikel ini dikutip dari catatan: Moch Nurhasim, Pusat Penelitian Politik LIPI, yang telah tayang di Kompas.Id dari yang berjudul: Demokrasi dan Polarisasi Politik

(*/tribun-medan.com/kompas.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved