Catatan Sepak Bola

Masih Juga Kerja dengan Gaya Lama

Tidak ada perubahan dalam pengerjaan dan pelaksanaannya. Tidak ada inovasi. Pengulangan yang hanya akan sampai di titik yang sama, yakni kegagalan.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Tribun Medan/Danil Siregar
PEMAIN PSMS Medan mendengarkan instruksi yang disampaikan Pelatih Kepala Jafri Sastra, pada satu sesi latihan jelang pertandingan Liga 2 musim 2019 di Stadion Teladan, Medan, beberapa waktu lalu. 

Musim kompetisi 2019 PSMS Medan gagal lolos ke Liga 1. Tak masalah. Usaha tidak mesti harus segera berhasil, bukan? Usaha bisa diulangi lantaran orang-orang tua kita dulu bilang, 'kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda'.

Namun, hal mengulangi ini akan jadi masalah apabila tidak ada perubahan dalam pengerjaan dan pelaksanaannya. Tidak ada terobosan. Tidak ada inovasi. Pengulangan yang hanya akan sampai di titik yang sama, yakni kegagalan. Dan inilah yang terjadi pada PSMS.

Tahun 2020 tinggal hitungan hari dan manajemen PSMS masih saja bekerja dengan gaya lama. Dengan metode-metode yang di belahan dunia lain barangkali sudah disimpan dalam peti, dikunci rapat, dan dibiarkan berdebu. Tidak usahlah jauh-jauh ke Inggris, ke Spanyol, Italia, Jerman, atau ke Perancis. Para pekerja sepak bola di luar lapangan di negara-negara ini kelewat tinggi untuk ukuran manajemen PSMS. Pula demikian Jepang, Korea Selatan, China, atau negara-negara kawasan teluk. Masih sulit dijangkau. Cukup melongok ke Bali saja. Atau setidak-tidaknya ke Bandung.

Mungkin Bali atau Bandung pun pada dasarnya masih tinggi, tetapi apa boleh buat, mau ke mana lagi kita mengambil contoh? Setidaknya, dibanding negara-negara Eropa dan negara maju Asia tadi, kerja manajemen sepak bola Bali dan Bandung masih dapat dikejar. Masih mungkin terjangkau. Satu syaratnya. Mau mengubah diri. 

Bali bisa berubah. Bandung bisa berubah. Walau belum seratus persen profesional, Bali United dan Persib sudah beringsut ke arah itu. PSMS? Celaka dua belas, justru letak persoalannya di sini. PSMS gagal lolos ke Liga 1 dan tahun depan akan kembali berlaga di Liga 2, dan mereka, manajemen PSMS yang masih diisi orang yang itu-itu juga, tetap saja bekerja dengan gaya lama. Dengan metode-metode yang di belahan dunia lain barangkali sudah disimpan dalam peti, dikunci rapat, dan dibiarkan berdebu. Tidak ada terobosan. Tidak ada inovasi.

Musim lalu, untuk membangun skuatnya saja, PSMS masih memberlakukan sistem seleksi pemain. Sungguh satu sistem yang sudah sangat kuno. Sistem yang barangkali cukup canggih di tahun-tahun 1960-an sampai 1970-an, tapi jelas sangat-sangat tertinggal jika menggunakan kaca pandang sepak bola era sekarang. Sepak bola yang bukan saja makin modern, lebih jauh juga telah berkelindan sebagai bagian tak terpisahkan dari industri yang telah pula sepenuhnya terpapar oleh teknologi.

Apakah sistem seleksi tidak lagi diperlukan? Tentu tetap perlu. Namun bukan untuk skuat senior (skuat utama). Seleksi diperlukan dalam pembentukan tim belia; tim kelompok usia anak-anak (9-13 tahun), 15 tahun, 17 tahun, dan 19 tahun. Tim junior, atau tim muda, atau katakanlah tim reserve (cadangan), bahkan tidak perlu lagi diseleksi. Cukup "dicomot" dari tim U-17 dan U-19.

Masalahnya, PSMS, kan, tidak punya skuat dengan jenjang usia seperti ini. Kalau pun ada, tidak dibina secara berkesinambungan. Kalau pun ada, skuat dibentuk musiman. Tiap kali ada turnamen atau kejuaraan, pemain dikumpulkan dan dilatih secara maraton, setelah itu dibubarkan. Kalau pun tidak dibubarkan, skuat tidak beraktivitas. Tidak pernah berkumpul bersama, tidak pernah berlatih bersama, bahkan pelatih-pelatihnya pun masing-masing telah terbang entah ke mana. Tidak ada kontrol.

Pada dasarnya, kalau mau, masih banyak waktu untuk memperbaiki segala ketertinggalan ini. Artinya, PSMS sangat mungkin berbenah. Edy Rahmayadi, yang sekarang jadi Gubernur Sumut, jauh sebelum masa-masa kampanyenya dulu sering bicara soal pembinaan. Dia melayangkan pandangan ke Eropa. Persisnya ke Inggris, ke Jerman, juga ke Belanda.

Bahkan, entah serius entah bercanda, dia bahkan pernah melontar pernyataan akan memindahkan Cristiano Ronaldo dari Santiago Bernabeau ke Kebun Bunga.

Namun sampai Edy akan menjalani tahun keduanya sebagai gubernur dan sudah jarang sekali bicara soal PSMS, belum ada satu pun pembinaan yang "agak-agak berbau" Eropa yang terwujud.

Pembinaan PSMS masih seperti sebelumnya. Katrok dan kampungan. Selaras ini, manajemen yang isinya orang yang itu-itu juga, tidak pula bertambah-tambah pengetahuannya perihal sepak bola modern.

Bayangkan saja, setelah skuat PSMS di Liga 2 2019 tercerai berai dan untuk itu skuat baru harus dibangun kembali, yang mereka lakukan adalah mencari pemain. Iya, pemain, dan bukan memastikan dahulu siapa yang duduk di kursi pelatih. Yakni pelatih yang cocok dengan PSMS. Terutama cocok dengan filosofi klub.

Urut-urutannya semestinya demikian. Pelatih yang pertama. Setelah ada, giliran pelatih ini yang memilih pemain-pemain yang cocok dengannya. Dalam hal ini cocok dengan strategi yang kelak akan diterapkannya. Manajemen tidak boleh menyodorkan pemain pilihan mereka . Atau pemain pilihan dari orang-orang pilihan yang mereka tunjuk melakukan seleksi.

Sebabnya jelas. Pemain pilihan mereka belum tentu cocok dengan pelatih. Jangankan pemain dari klub Liga 1, pemain Liga Premier Inggris atau La Liga Spanyol sekali pun, apabila tidak cocok dengan rencana strategi terapan pelatih, tak akan ada gunanya.

Musim lalu, kesalahkaprahan semacam ini terjadi. Abdul Rahman Gurning terpaksa menerima pemain yang sebagian besar tidak ia inginkan. Begitu juga Jafri Sastra. Ibarat kata, lain dipesan lain yang datang. Apakah memang mau diulang lagi?(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved